Benarkah Indonesia Paling Aman Jika Perang Dunia 3 Meletus? Analisa Mengejutkan Posisi RI Sebenarnya!

- Senin, 23 Juni 2025 | 12:45 WIB
Benarkah Indonesia Paling Aman Jika Perang Dunia 3 Meletus? Analisa Mengejutkan Posisi RI Sebenarnya!




NARASIBARU.COM - Di tengah eskalasi konflik global yang kian memanas—mulai dari perang di Ukraina, krisis berkepanjangan di Timur Tengah, hingga ketegangan di Laut China Selatan—sebuah pertanyaan besar mulai menghantui benak banyak orang.


Apa yang terjadi jika Perang Dunia 3 benar-benar meletus? 


Dan di mana posisi Indonesia dalam skenario mengerikan tersebut?


Secara mengejutkan, di berbagai forum online dan diskusi media sosial, muncul sebuah teori populer yang menenangkan, Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara paling aman untuk berlindung jika perang global pecah.


Argumennya terdengar logis. Secara geografis, Indonesia terletak jauh dari pusat-pusat potensi konflik utama di Eropa dan Amerika Utara.


Negara Indonesia adalah kepulauan masif yang diberkahi kekayaan alam melimpah, yang secara teori bisa menopang kehidupan warganya.


Lebih dari itu, Indonesia memegang teguh prinsip politik luar negeri "bebas aktif". 


Artinya, Indonesia tidak terikat pada aliansi militer manapun, baik itu NATO yang dipimpin Amerika Serikat maupun aliansi lain yang mungkin terbentuk di sekitar Tiongkok atau Rusia.


Posisi non-blok ini dianggap sebagai tameng utama yang akan menghindarkan Indonesia dari serangan langsung.


Namun, benarkah narasi "Indonesia benteng terakhir" ini sebuah fakta, atau sekadar angan-angan yang meninabobokan?


Ilusi Keamanan di Negeri Non-Blok


Para ahli strategis dan hubungan internasional mengingatkan bahwa dalam perang modern berskala global, tidak ada tempat yang benar-benar aman.


Konsep keamanan tidak lagi sebatas terhindar dari ledakan bom atau invasi militer. Perang hari ini juga terjadi di ranah ekonomi, siber, dan informasi.


Saat masih menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, Andi Widjajanto, memberikan perspektif yang lebih gamblang mengenai posisi Indonesia yang sesungguhnya. Menurutnya, netralitas adalah sebuah kemewahan yang rapuh.


"Indonesia memang tidak terikat aliansi militer manapun, yang secara teori mengurangi risiko menjadi target utama di fase awal konflik. Namun, posisi kita sebagai 'penjaga' jalur laut strategis dunia justru menjadi kerentanan terbesar. Dalam perang total, netralitas adalah sebuah kemewahan yang mahal," ujar Andi Widjajanto, dalam sebuah seminar pertahanan di Jakarta, (15/3/2024).


Kutipan tersebut membuka tabir kerentanan terbesar kita: posisi geografis yang selama ini dibanggakan justru bisa menjadi kutukan.


Selat Malaka: Berkah Sekaligus Medan Perang


Bayangkan skenario ini: konflik pecah antara Amerika Serikat dan Tiongkok. 


Sekitar 60% perdagangan maritim dunia dan sepertiga pengiriman minyak mentah global melewati jalur perairan Indonesia, terutama Selat Malaka. 


Siapapun yang mengontrol selat ini, pada dasarnya mengontrol urat nadi ekonomi global.


Dalam situasi perang, jalur ini akan menjadi titik rebutan (choke point) yang paling strategis. 


Indonesia akan berada di bawah tekanan luar biasa dari kedua belah pihak untuk berpihak. 


Menolak salah satunya bisa dianggap sebagai tindakan permusuhan.


Sementara mengizinkan salah satunya akan otomatis menjadikan Indonesia musuh bagi pihak lain. 


Posisi netral akan terkikis dengan cepat, dan kedaulatan kita di perairan sendiri akan diuji hingga titik darah penghabisan.


Dampak ekonominya bahkan akan terasa lebih dulu sebelum satu peluru pun ditembakkan di tanah air. 


Rantai pasok global akan runtuh. Impor gandum untuk jutaan bungkus mie instan akan berhenti. 


Impor komponen elektronik untuk ponsel dan kendaraan akan macet.


Di sisi lain, ekspor batu bara dan minyak sawit yang menjadi andalan devisa negara tidak akan bisa dikirim. 


Inflasi akan meroket, kelangkaan barang terjadi di mana-mana, dan potensi PHK massal akan memicu gejolak sosial yang tak terbayangkan.


Perlu dipahami, bahwa perang tidak lagi hanya soal rudal, tapi soal siapa yang mengontrol perut dan dompet rakyat.


Sumber: Suara

Komentar