Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menanggapi soal stigma "Gubernur Pencitraan" yang selama ini melekat pada dirinya.
Ia juga merespons santai berbagai gelar yang disematkan kepadanya, termasuk gelar sindiran yang menyebut dirinya sebagai "Mulyono Jilid 2".
Gelar itu muncul seiring gaya kepemimpinannya yang dianggap mirip dengan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
“Habis Mulyono terbitlah Mulyadi ya kan? itu judul salah satu media nasional kita yang menulis dan menginvestigasi terhadap fenomena yang terjadi pada dunia politik Indonesia, dunia birokrasi, dan khususnya di era kepemimpinan saya menjadi Gubernur Jawa Barat,” kata Dedi Mulyadi dikutip dari YouTube Akbar Faizal pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Dedi mengaku tidak tahu maksud dari narasi tersebut. Namun ia memilih untuk tidak terlalu memusingkan asal-usul stigma yang muncul di masyarakat itu.
“Saya juga enggak tahu bahwa narasi itu dibuat membangun stigma apa. Apa kecemasan, apa ketakutan atau keirian, atau memang lagi suka sama saya, saya kan tidak tahu,” ujarnya.
“Dari sisi demografi dan letak geografi kan saya menjadi aneh ketika saya menjadi Gubernur Jawa Barat langsung diinvestigasi dan dibuat identik dengan kepemimpinan Pak Jokowi,” lanjutnya.
Alih-alih tersinggung, Dedi justru seolah bangga dengan semua gelar yang disematkan padanya tersebut. Ia bahkan menyebut bahwa gelarnya kini sudah lima dan bahkan masih bisa bertambah.
“Bagi saya sih dikasih gelar apapun gak masalah. Gelar saya kan sekarang udah lima. Satu Mulyono Jilid 2, Gubernur Konten, Gubernur Lambe Turah, kemudian Gubernur Pencitraan,” kata Dedi.
“Ada lagi KDM, dulu Kang Duda Merana, kemudian menjadi Kang Duda Menyala. Saya bilang sebentar lagi tunggu, saya akan menjadi KDM yang ketiga ‘Kang Duda Merajalela’,” selorohnya.
Bagi Dedi, semua julukan itu tidak lebih dari potret dinamika sosial-politik yang wajar. Ia memilih menikmati semua gelar itu sebagai warna dalam perjalanan kepemimpinannya.
Dedi mengatakan, sebetulnya tak ada yang berubah dari caranya memimpin sejak dulu.
Namun, kini ia memiliki ruang ekspresi yang jauh lebih luas berkat kemajuan media digital dan perhatian publik yang meningkat.
“Sebenarnya bagi mereka yang tinggal di Purwakarta, bagi mereka yang pernah dipimpin saya. Apa yang saya lakukan hari ini tuh gak ada beda dengan dulu,” ujar mantan bupati itu.
“Cuma dulu saya memiliki keterbatasan ruang untuk mengekspresikan seluruh apa yang digiatan ini,” lanjutnya.
Ia menyebut bahwa ketika masih menjabat Bupati Purwakarta, tak ada kamera televisi yang melirik ke daerahnya. Media digital pun belum mampu memviralkan kegiatan-kegiatannya kala itu.
“Mana ada dulu misalnya televisi menyorotkan kameranya ke Purwakarta, mana ada layar media digital waktu itu mengamplifikasi terhadap apa yang ada di Purwakarta,” katanya.
Dedi mengungkapkan bahwa semua yang ia lakukan selama menjadi Bupati Purwakarta sebenarnya terdokumentasi dengan baik, namun saat itu belum mendapat perhatian publik yang signifikan.
“Pada saat itu sebenarnya saya banyak mendokumentasikan apa yang saya lakukan dan saya simpan,” ujarnya.
Barulah setelah ia berhenti menjadi bupati, dokumentasi itu mulai mendapat respons besar dari masyarakat.
“Seluruh dokumentasi yang disimpan itu ternyata mulai mendapat respons publik pada saat saya berhenti menjadi bupati,” pungkasnya.
Sumber: suara
Foto: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (YouTube/Deddy Corbuzier)
Artikel Terkait
Nikita Mirzani Ngamuk Data Keuangannya Dibuka, Razman Nasution Beri Komentar Menohok
Geledah Kantor Agensi Haji: KPK Temukan Indikasi Penghilangan Barang Bukti
ICW Tanya Penanganan Laporan Dugaan Korupsi Gas Air Mata
Dasco Bongkar Gebrakan Prabowo: Bonus Komisaris BUMN Disetop, Duit Rp 18 Triliun Diselamatkan!