80 tahun kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 2025)—tentu bukanlah usia yang muda lagi. Dengan usia tersebut Indonesia tumbuh dengan berbagai kompleksitasnya, baik perannya dalam negara dan banganya sendiri, maupun dengan pergaulan dengan dunia luar. Indonesia, bisa dibilang sebagai negara dan bangsa yang tidak mudah meraih kemerdekaannya setelah kolonialisme melakukan pendudukan selama kurang lebih 350 tahun lamanya. Dengan pengalaman dijajah dengan rentan waktuyang cukup lama, bukan tidak mungkin; berapa kekayaan yang telah dikeruk oleh penjajah, berapa nyawa yang harus melayang, berapa kerugian yang diderita, serta seberapa besar rasa traumatik yang harus dipikul di pundak anak bangsa ini.
Kemerdekaan, bukanlah hadian pemberian dari penjajah untuk menyudahi pendudukannya di bumi pertiwi ini, bukan pula pengakuan sepihak dari bangsa koloni untuk sebuah kemerdekaan untuk Indonesia. Tetapi begitu banyak upaya yang harus dilakukan oleh anak bangsa ini untuk bisa memperoleh kemerdekaan; secara politis, berbagai perjanjian dan konsensus digelar untuk menyudahi penjajahan, walau setiap perjanjian selalau saja menemui jalan buntu, bahkan pengingkaran dari pihak penjajah hingga berbagai agresi militer dilakukannya.
Dan semangat nasionalisme, yang ditandai dengan berbagai bentuk perlawanan yang dikobarkan di seluruh pelosok untuk mengusir keberadaan penjajah. Dan sejarah bangsa ini, mencatatnya dengan apik—bagaimana peristiwa demi peristiwa perlawanan itu dilakukan, dari konsensus kaum terpelajar, mahasiswa, kaum buruh, santri, ulama, cendikiawan, akademisi, militer—dengan semangat nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan, maka Indonesia tiba di depan pintu gerbang kemerdekaan (Preambule UUD 45) sebagai petanda peneguhan akan kedaulatan sebagai bangsa merdeka. Dan 17 Agustus 1945 adalah momentum sejarah kemerdekaan dan kedaulatan diperoleh. Dan itulah kemerdekaan yang lepas dari segala penindasan dari keterkungkungan kaum penjajah (kolonialisme).
Tapi, kita belum sepenuhnya merdeka
Yes, 17 Agustus setiap tahunnya kita memperingati hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Nuansa simbolik menghiasi setiap sudut-sudut desa, perkampungan, perkotaan hingga ke lorong-lorong---sang merah putih dikibarkan, berbagai acara pun turut membersamai kemeriahan itu. Kemerdekaan yang ceremonial, menjadi panggung-panggung heroisme atas nasionalisme yang semu.
Nasionalisme semu?, Ya, nasionalisme yang semu, sebab nasionalisme yang sesungguhnya adalah hadirnya semangat dan jiwa tepo seliro, saling menghargai, saling membantu, rasa kepedulian, empty sosial,--tapi semua itu tergerus karena ketimpangan ekonomi dan sosial di tengah kehidupan masyarakat.
Kemiskinan yang meningkat, angka pengangguran yang tinggi, PHK yang sulit dikendalikan, Korupsi menjadi tradisi, penegakan hukum yang masih tebang pilih, kenaikan pajak di luar batas kewajaran, indek demokrasi yang menurun, kepercayaan publik yang menurun kepada institusi negara, hutang luar negeri yang mengancam, gaji anggota DPR dan pejabat lainnya dinaikkan, ancaman royalti di berbagai bidang usaha dan seni. Sementara, masih masih banyak anak-anak yang putus sekolah, begitu banyak sekolah-sekolah yang tak layak pakai untuk belajar, masih ada seorang bidan harus menyeberangi sungai hanya untuk menolong pasien, tidak sedikit anak-anak sekolah berjibaku dengan jembatan yang reok, menyeberangi sungai dan pulau hanya untuk melanjutkan pendidikannya.
Sehingga prinsip dasar kemerdekaan itu sesungguhnya adalah pembebasan; yakni pembebasan atas kemiskinan, ketertinggalan dan kemelaratan yang dialami rakyat. Itulah esensi dari sebuah kemerdekaan,---bila semua problem sosial tersebut di atas belum ditunaikan oleh pemerintah, maka kita hanya memeriahkan kemerdekaan yang semu.
Pejabat joget-joget, rakyat menangis
80 tahun kemerdekaan, adalah usia yang sangat matang. 80 tahun usia manusia itu secara psikologis, ia akan semakin bijak, hidup penuh dengan khidmat, dan banyak melakukan perenungan-perenungan dalam hidupnya. Tetapi dalam konteks perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 2025) di Istana Negara, justru menampilkan sesuatu yang aneh dan tidak relevan dengan makna kemerdekaan yang diperoleh dengan darah dan airmata. Yang ada adalah aksi joget-joget dari sidang tahunan di gedung DPR RI hingga pengibaran bendera merah putih dikibarkan di halaman Istana Negara—perilaku itu masih sama; joget-joget.
Ini bukti kalau bangsa (pejabat, elit) sudah kehilangan sense of crisis, kehilangan rasa empaty, kehilangan rasa kemanusiaan. Euforia yang berlebihan justru merusak prinsip dan nilai-nilai kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh founding fathers kita di masa lalu. Tugas generasi berikutnya bukanlah joget-joget, tetapi mengisinya dengan hal-hal yang baik, penuh khidmat, dan tetap menjaga sakralitas sebuah kemerdekaan.
Dan ini bukti krisis nasionalisme kebangsaan. Hari ini merdeka, besok rakyat masih melanjutkannya penderitaannya.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis buku, kritikus sosial politik, penggiat demokrasi.
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Makna Filosofis Tanjak Melayu, Pakaian Adat Prabowo saat Upacara Penurunan Bendera di Istana
[EKSKLUSIF] Pengamat Militer & Pertahanan Bongkar Bocoran Cerita di Balik Gibran Ogah Salami AHY: Solo Tak Suka AHY!
16 Narapidana Korupsi Diberi Remisi, Ahmad Fathanah hingga Eks Timses Jokowi
Kisah Bidan Berenang Menyeberangi Sungai, Meminta Maaf kepada Harimau yang Siap Menerkam