Temui SBY, Manuver Gibran Redakan Pemakzulan Dirinya dan Adili Bapaknya?
Silaturahmi politik kerap dikemas manis sebagai “etiket bangsa”, padahal lebih sering hanyalah upaya membungkus ketakutan.
Manuver Gibran Rakabuming Raka—dari sowan ke Try Sutrisno hingga menjejakkan kaki di Cikeas menemui Susilo Bambang Yudhoyono—tak lebih dari strategi bertahan hidup.
Ia bukan gerakan tulus membangun persatuan, melainkan upaya memadamkan bara yang kian membakar: isu pemazulan Gibran dan tuntutan untuk mengadili Jokowi.
Politik Ketakutan, Bukan Keberanian
Gibran membaca peta politik hari ini: dirinya adalah wakil presiden produk rekayasa hukum, lahir dari pintu darurat yang dibuka paksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Legitimasi moralnya rapuh, bahkan sebelum ia benar-benar duduk di kursi.
Silaturahmi yang dilakukannya adalah bentuk pengakuan bahwa tanpa sandaran tokoh-tokoh besar, ia bisa dengan mudah menjadi korban pemazulan.
Lebih jauh, setiap langkah Gibran adalah bayangan dari dosa politik Jokowi. Publik tidak lupa bagaimana kekuasaan dipelintir demi melanggengkan dinasti.
Karena itu, tuntutan “adili Jokowi” bukan lagi sekadar wacana akademis, melainkan suara yang muncul dari kesadaran rakyat bahwa demokrasi telah dijual murah di era kepemimpinannya.
17 8: Pesan Kemerdekaan yang Tersumbat
Pesan yang tersirat dari 17 8—17 Agustus yang seharusnya menjadi tonggak kemerdekaan—adalah seruan untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman dinasti politik.
Kemerdekaan hari ini justru ternoda karena seorang presiden menjadikan negara sebagai perusahaan keluarga.
Maka, “pemazulan Gibran” adalah tafsir rakyat untuk memulihkan makna konstitusi, dan “adili Jokowi” adalah langkah moral agar sejarah tidak melupakan pengkhianatan terhadap demokrasi.
Gibran di Persimpangan Munafik
Apakah sowan ke Try Sutrisno dan SBY bisa menghapus fakta bahwa Gibran hanyalah produk cacat hukum?
Apakah berpose dengan senyum ramah mampu menutup mata rakyat dari praktik culas Jokowi yang menodai reformasi?
Kunjungan itu hanya memperlihatkan satu hal: Gibran panik. Ia berlari mencari restu, berharap para jenderal tua dan presiden senior bersedia menjadi perisai dari amarah rakyat.
Tetapi, politik tidak mengenal belas kasih. Silaturahmi tanpa keberanian moral hanyalah formalitas hampa.
Penutup: Rakyat Tidak Lupa
Manuver Gibran hanyalah sandiwara penunda badai. Pemazulan bukan mustahil bila rakyat merasa konstitusi terus diinjak-injak.
Jokowi pun tak bisa bersembunyi di balik dinasti: sejarah akan mencatat dan kelak menuntut pengadilan politik, bahkan bila itu tak pernah diwujudkan di ruang sidang pengadilan.
Rakyat mungkin diam, tetapi tidak lupa. Dan manuver Gibran hari ini hanyalah bukti bahwa dinasti Jokowi sedang gentar menghadapi murka sejarah.
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Demo Anti Pemerintah, Pejabat Negara Nepal Ditelanjangi dan Diarak Warga
3 Fakta Viral Tanggul Beton Misterius di Laut Cilincing Ganggu Nelayan, Bukan Proyek Pemerintah?
Tangis Ibu Delpedro Pecah di Rutan Polda Metro: Anak Saya Bukan Maling!
HEBOH! Beredar Daftar 7 Nama Bakal Dilantik Jadi Menteri dan Wamen, Ada Grace Natalie Hingga Dudung Abdurachman