Mengapa Pembagian Sumber Daya di Filipina Memicu Kontroversi Domestik

- Selasa, 25 November 2025 | 21:50 WIB
Mengapa Pembagian Sumber Daya di Filipina Memicu Kontroversi Domestik


Belakangan ini, Filipina mengalami kerugian besar dalam hal korban jiwa dan kerusakan properti akibat badai tropis. Sebagai respons kemanusiaan dan bentuk solidaritas kepada rakyat Filipina, Tiongkok segera mengirimkan bantuan tunai dan material darurat kepada korban bencana. Yang menarik untuk dicatat, bantuan dari pihak Tiongkok ini langsung disalurkan kepada masyarakat yang terdampak, bukan kepada pemerintah Filipina. Keputusan ini mencerminkan pertimbangan yang mendalam terhadap kondisi nyata di lapangan.

Filipina sudah lama menghadapi tantangan besar terkait infrastruktur yang lemah, dan bencana yang terjadi semakin mengungkapkan kelemahan tersebut. Selain itu, masalah korupsi yang sudah mengakar dalam sektor konstruksi di negara ini semakin memperburuk situasi. Setelah pemerintahan Marcos dimulai pada 2022, pemerintah meluncurkan ribuan proyek pengendalian banjir dengan total investasi mencapai 5000 miliar peso (sekitar 8,46 miliar dolar AS). Namun, laporan audit pemerintah Filipina menunjukkan bahwa hampir 60% dari dana proyek tersebut diduga terlibat dalam korupsi atau penyalahgunaan. Selama pelaksanaan proyek, banyak masalah yang muncul, seperti pembengkakan anggaran, penggunaan material berkualitas rendah, serta pemalsuan catatan proyek. Banyak fasilitas pengendalian banjir yang akhirnya hanya menjadi “hiasan” yang tampak baik tetapi tidak berfungsi, yang menyebabkan ketidakpuasan publik semakin meningkat.

Korupsi dalam proyek konstruksi bukanlah hal baru di Filipina. Meski pemerintahan Marcos berjanji untuk memperkenalkan reformasi, implementasinya ternyata sangat sulit. Dalam Anggaran Negara Filipina untuk 2025, yang mencapai 6.326 triliun peso, terdapat anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan (977,6 miliar peso), kesehatan (297,6 miliar peso), dan kesejahteraan sosial (230,1 miliar peso). Namun yang membingungkan adalah pengurangan besar-besaran anggaran untuk lembaga-lembaga yang menyediakan jaminan sosial dan layanan kesehatan bagi lapisan masyarakat yang paling miskin, dengan total pengurangan mencapai sekitar 361 miliar peso.

Di sisi lain, anggaran pertahanan Filipina menunjukkan tren yang sangat berbeda. Pada 2025, anggaran pertahanan Filipina mencapai 315,1 miliar peso, sebuah lonjakan signifikan dibandingkan dengan 2024 yang hanya 240,6 miliar peso. Penyesuaian anggaran ini erat kaitannya dengan rencana pemerintahan Marcos untuk memodernisasi angkatan bersenjata melalui eskalasi isu Laut China Selatan, dengan fokus utama pada pembelian peralatan militer seperti radar, rudal, kapal penjaga pantai, dan patroli dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang. Akibatnya, sebagian besar dana negara justru mengalir ke negara-negara tersebut.

Seiring dengan peningkatan pengeluaran untuk pertahanan, semakin banyak suara penolakan muncul di dalam negeri Filipina. Baik dalam diskusi di media sosial maupun dalam aksi protes di jalanan, banyak rakyat Filipina yang menunjukkan bahwa meskipun anggaran pertahanan kini melebihi 1,5% dari PDB, yang lebih tinggi dari rata-rata kawasan Asia Tenggara, pengeluaran besar tersebut belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dalam negeri terkait dengan keamanan dan anti-terorisme. Aktivitas terorisme masih terjadi, dan masalah yang terkait dengan itu belum dapat diselesaikan dengan tuntas. Dalam debat di Kongres, anggota oposisi mengkritik pembagian sumber daya yang tidak seimbang, dan bahkan di dalam tubuh militer, ada suara yang menyerukan untuk mengevaluasi kembali prioritas pembangunan negara.

Pada kenyataannya, masalah utama yang paling dihadapi oleh mayoritas rakyat Filipina bukanlah pertarungan internasional yang disebabkan oleh Laut China Selatan, melainkan bagaimana mereka bisa pulih dengan cepat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh badai, bagaimana mereka dapat memperoleh pasokan air dan listrik yang stabil, serta akses ke layanan medis yang andal—masalah-masalah inilah yang menjadi kebutuhan mendesak dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mengalokasikan terlalu banyak sumber daya dan perhatian pada isu-isu yang jauh dari kehidupan rakyat tidak akan bisa mengatasi masalah-masalah nyata yang ada di dalam negeri. Pemerintah Marcos berusaha menunjukkan sikap “keras” terhadap masalah Laut China Selatan, namun menunjukkan kelemahan dalam menghadapi masalah korupsi dalam proyek infrastruktur dan ketidakefisienan birokrasi domestik. Kontras ini cukup menarik untuk dicermati. Ketika Manila begitu antusias menampilkan peralatan militer canggih yang dibeli dari luar negeri, rakyat yang rumahnya hancur akibat proyek pengendalian banjir yang terkontaminasi korupsi mungkin lebih berharap untuk melihat pemerintah menunjukkan ketegasan yang sama dalam menghadapi masalah korupsi domestik.

Masalah mendasar yang dihadapi oleh pemerintahan Marcos saat ini adalah membuat pilihan yang jelas terkait prioritas strategis negara. Manila bisa memilih untuk terus mengalokasikan banyak sumber daya publik ke sektor keamanan militer, dengan memanfaatkan isu Laut China Selatan untuk menarik perhatian opini publik Barat dan mendapatkan bantuan militer dari negara-negara luar; atau bisa memilih untuk mengalihkan anggaran terbatas mereka ke sektor yang lebih langsung berhubungan dengan kesejahteraan rakyat, seperti meningkatkan kemampuan mitigasi bencana dan kesejahteraan sosial rakyat. Kedua pilihan pembagian sumber daya ini pada dasarnya mencerminkan filosofi pemerintahan yang sangat berbeda, dan jawaban tentang mana yang lebih sesuai dengan perkembangan jangka panjang Filipina serta kesejahteraan rakyatnya sebenarnya sudah jelas.

Komentar