Warisan Hakim MK sebagai Kado Idulfitri

- Senin, 08 April 2024 | 14:15 WIB
Warisan Hakim MK sebagai Kado Idulfitri


Bila dicermati, suara (voice) kenabian yang dikumandangkan keras oleh akademisi, ulama, dan beragam tokoh masyarakat niscaya telah memekakkan telinga (menimbulkan noise) pada penguasa.


Sejatinya, voice itu sendiri lahir dari noise penguasa yang menerbitkan banyak turunan konstitusi yang menabrak konstitusi itu sendiri sampai melahirkan anak haram konstitusi, UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat (yang revisinya pun secara substansi tidak berubah), dan sejumlah aturan, termasuk yang dimuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU KUHP.


Voice MK yang menyatakan kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 melalui Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 21 Maret 2024 telah membuka harapan baru bukan hanya bagi Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, tetapi juga semua orang yang menginginkan (penyelenggara) Negara menjalankan tugas dan fungsinya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, bukan sebaliknya.


Bila ditilik jauh lebih dalam, kebanyakan perkara yang muncul di MK berangkat dari perbedaan tafsir voice dan noise dari materi sebuah UU dan keraguan (distrust) tentang hasil pemilu legislatif, pemilukada, dan pilpres.


Dalam sengketa tentang hasil Pilpres 2024, distrust kepada Pemerintah, KPU, dan Bawaslu sudah muncul ketika nama-nama bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden mulai digadang-gadang sejumlah pihak melalui polster, buzzer, dan influencer.


Kini orang yang tidak memakai kacamata kuda dengan mudah melihat voice dan noise dari 2 pemohon versus termohon dan pihak terkait bermuara pada distrust kepada Pemerintah yang akan datang bila hakim MK mengesahkan hasil KPU. Bila distrust kepada Pemerintah mendatang semula dengan lantang disuarakan oleh Tim Paslon 1, belakangan juga oleh Tim Paslon 3.


Tentu distrust itu kini di mata kedua tim melalui pemohon masing-masing mencakup ketidakmampuan Negara (baca: Pemerintah yang akan dijalankan oleh Paslon 2) memenuhi ke-4 tujuan dan fungsi negara di atas.


Kedua pemohon dan mereka yang pesimis mengatakan, “Alih-alih Indonesia emas pada 2045, yang terjadi malah Indonesia cemas".


Lebih dari sekadar Indonesia cemas, Penulis memaknai pernyataan Romo Magnis di MK 2 April 2024 lalu dan kata “gawat” di sebuah forum sebagai kekhawatiran beliau bahwa Indonesia menjadi tinggal nama seperti Soviet dan Yugoslavia atau menjadi bagian dari Tiongkok sebelum 2045.


Bila dalam bulan April 137 tahun silam John Emerich Edward Dalberg (nama lengkap Lord Acton) telah membuat surat yang bersejarah, kini saatnya minimal 4 hakim MK termasuk hakim Suhartoyo membuat putusan bersejarah yang memastikan keberlangsungan Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang keterpilihan kepala negaranya tanpa cawe-cawe asing dan/atau penguasa petahana.


Sebaliknya, cukup dengan menebar ketakutan dan/atau cuan yang jumlahnya wah pada 4 hakim MK (termasuk Suhartoyo), alih-alih membuat putusan  yang menjadi kado Idulfitri (baca: legacy) bagi bangsanya (minimal dengan mendiskualifikasi Gibran), malah hakim MK kini menyetop ketakutan diri dan keluarganya, namun menebar ketakutan pada jutaan orang, Penulis, dan mungkin anak cucu mereka di kemudian hari. 

SEBELUMNYA


Halaman:

Komentar