Sebab bila izin terbaru tersebut hanya untuk kebutuhan pembersihan sedimentasi laut maka tidak perlu menggunakan payung hukum setingkat peraturan pemerintah.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, mengingatkan publik harus cermat dan tidak mudah terkecoh dengan pernyataan pejabat terkait tentang tidak adanya dampak lingkungan atas eksploitasi besar-besaran pasir laut, khususnya ketika dinarasikan hanya membersihkan sedimentasi laut untuk kesehatan laut.
Meskipun faktanya dampak lingkungan pasti terjadi setiap adanya ekploitasi yang masif, persoalannya adalah antisipasi untuk meminilisir dampak negatifnya.
“Faktanya, kebutuhan pasir laut jika untuk kepentingan infrastruktur dan reklamasi dalam negeri, selama ini dan kedepan tidak membutuhkan payung hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pemanfaatan Sedimentasi Laut,” ungkap Yusri, Sabtu (3/6/2023).
Sebab, tegasYusri, sejak lama kebutuhan dari pemanfaatan pasir laut untuk keperluan infrastruktur dan reklamasi di seluruh Indonesia sudah ada payung hukumnya, yaitu dimulai dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok Pokok Pertambangan, yang telah dirubah beberapa kali dan terakhir diubah menjadi Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara.
“Di balik semua kehebohan terbitnya PP ini, diduga di belakang panggung ini terjadi pertarungan perebutan kewenangan pengelolaan antara Kementerian ESDM dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sebab cuannya besar,” beber Yusri.
Jadi, kata Yusri, jika dari perspektif UU Minerba, jelas pasir laut adalah produk pertambangan yang merupakan kewenangan Kementerian ESDM.
Sementara dari perspektf PP Nomor 26 Tahun 2023, sedimentasi itu adalah proses yang merupakan urusan KKP.
“Dari perspektif ilmu geologi, proses sedimentasi itu bisa terjadi dimana saja, baik di darat, di danau, di muara sungai, di pinggir pantai hingga di laut dalam. Produknya bisa mulai dari bongkah, kerikil, pasir, lanau hingga lempung. Sehingga, wajar jika proses harmonisasi antar kementerian untuk pembentukan PP Nomor 26 Tahun 2023 tertahan lama, lebih dua tahun,” beber Yusri.
Hal itu menurut Yusri, diakui pemerintah melalui pernyataan Presiden Jokowi di hadapan Pemred di Istana Negara pada Senin (29/5/2023) malam lalu.
Jokowi kala itu menyatakan, pembantunya di jajaran kementerian selama ini tak berani mengambil keputusan akibat terjadi tarik-menarik yang kuat.
“Sehingga banyak pihak menduga, PP ini kental konsep dari pengusaha daripada konsep akademik. Padahal, izin pemanfaatan pasir laut di seluruh Indonesia yang sudah diterbitkan izinnya oleh Gubernur dan Kementerian ESDM ada sekitar 141 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain itu, ada 12 IUP operasi (OP) yang sudah ditambang untuk kebutuhan infrastruktur dan reklamasi di dalam negeri selama ini, tetapi yang dilarang hanya tujuan ekspor,” jelas Yusri.
Lebih lanjut Yusri membeberkan, lahirnya PP Nomor 26 tahun 2023 dianggap aneh oleh banyak pihak, karena telah mengesampingkan banyak UU terkait, seperti UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup dan UU nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah.
“Termasuk Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) Pemprov Kepri yang diasistensi oleh KKP dan telah disahkan oleh DPRD Provinsi Kepulauan Riau sejak Desember 2020, lebih dua tahun di Kementerian Dalam Negeri hingga hari ini belum disahkan oleh Mendagri,” jelas Yusri.
Apalagi, kata Yusri, terkait isi pasal 3 dari PP Nomor 26 Tahun 2023 tersebut, bahwa wilayah izin usaha pertambangan adalah yang dikecualikan dalam pengelolaan hasil sedimentasi ini.
“CERI memprediksi, ke depan akan banyak komponen masyarakat dari aktifis pecinta lingkungan hidup semacam Walhi dan Greenpeace, kelompok nelayan, penduduk wilayah pesisir, Pemda dan pengusaha pasir laut akan menggugat produk PP ini ke Makamah Agung,” ungkap Yusri.
Hal ini tentunya juga jika melihat ironi PP Nomor 26 Tahun 2023 ini yang hanya menerapkan sanksi administratif untuk pelanggaran terjadi, tanpa ada sanksi pidana. Padahal jelas potensi pidananya ada.
Jadi, kata Yusri, dari sebagian penjelasan Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono pada konfrensi pers di hadapan awak media pada Rabu (31/5/2023) sore lalu, terkesan agak menyesatkan publik, sebab susah dibantah bahwa jelas tujuan utama PP itu adalah untuk ekspor pasir laut.
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
Siap Tanggung, Prabowo Minta Jalur Whoosh Dilanjut hingga Banyuwangi Jawa Timur
Ahmad Sahroni Cerita Jatuh dari Plafon Saat Rumahnya Dijarah
Media Israel: Netanyahu Lakukan Ritual Penyembelihan Sapi Merah Suci
Andre Taulany dan Natasha Rizky Terlalu Akrab, Desta Cemburu?