Benarkah KDM 2029: Pemimpin Dari Rakyat, Untuk Rakyat, Dengan Bahasa Rakyat?

- Senin, 02 Juni 2025 | 20:45 WIB
Benarkah KDM 2029: Pemimpin Dari Rakyat, Untuk Rakyat, Dengan Bahasa Rakyat?


Benarkah KDM 2029: Pemimpin Dari Rakyat, Untuk Rakyat, Dengan Bahasa Rakyat?


Oleh: Iskandar Darmawan

Pemerhati Sosial dan Budaya


“Politik itu adalah jalan pengabdian. Bukan alat untuk memperkaya diri, tapi untuk melayani.”Mohammad Hatta


Di tengah kejenuhan rakyat pada wajah-wajah lama politik nasional, muncul satu sosok yang kian diperbincangkan sebagai alternatif masa depan Indonesia: Kang Dedi Mulyadi (KDM).


Bukan bagian dari trah istana. Katanya bukan pula anak kandung oligarki. 


Ia hadir dari desa, dari lembur, dari akar tradisi yang selama ini terpinggirkan oleh gemerlap pusat kekuasaan. Subang dan dikenal sebagai awal politik dia jadi bupati Purwakarta.


KDM bukan produk politik instan. Ia adalah hasil dari proses panjang—dari aktivis politik dan budaya hingga Bupati Purwakarta dua periode, dari legislator sampai pemimpin komunitas akar rumput. 


Dalam perjalanan itu, ia tidak pernah melepaskan identitas kebudayaan Sunda yang menjadi sumber nilai dan laku hidupnya.


Lahir dari Jalan Sunyi Rakyat KDM adalah representasi nyata dari pemimpin yang tidak dibentuk di laboratorium kekuasaan, melainkan ditempa langsung oleh problem rakyat. Dari politikus Golkar lalu kini hijrah ke Gerindra. 


Ia datang bukan dengan skema pencitraan, tetapi dengan pengalaman konkret: mengelola desa, merawat budaya, menghidupkan ruang publik.


Pemimpin semacam ini langka di republik ini. Di saat banyak tokoh baru hanya tampil dalam iklan atau buzzer, KDM hadir langsung di pinggiran masyarakat, sawah, pasar, gang sempit, dan rumah-rumah sederhana. 


Ia tidak meniru gaya blusukan; ia sudah hidup di dalamnya.


“Great leaders are not defined by the absence of weakness, but by the presence of clear strengths.”John Zenger


Komunikasi Politik yang Elegan, Tidak Memecah Keistimewaan KDM terletak pada gaya komunikasinya yang tidak reaktif, tidak menyulut, tetapi mencerahkan. 


Ia berbicara dengan bahasa rakyat, namun menyisipkan nilai-nilai filsafat lokal Sunda yang dalam. 


Dalam medsosnya dan  video-videonya, dalam pertemuannya dengan warga, dalam debat politik dll, KDM selalu menjaga bahasa sebagai ruang dialog, bukan ruang perang. 


Ketika banyak politisi menggunakan kemarahan sebagai alat populer, KDM memilih kelembutan untuk menyentuh nurani. Ia tidak perlu teriak untuk didengar. Ia cukup jujur untuk dipercaya.


“Speak softly and carry a big stick; you will go far.”Theodore Roosevelt


Dan KDM membawa tongkat itu: bukan kekuasaan keras, tapi prinsip yang kokoh. 


Sunda Bukan Sekadar Identitas, Tapi Jalan Etika Sebagai seorang putra Sunda, KDM tidak mengangkat kesukuannya sebagai simbol eksklusif. 


Ia menyaring nilai-nilainya ke dalam politik: silih asah (belajar), silih asih (mengasihi), silih asuh (membimbing).


Nilai ini sangat relevan saat negeri ini sedang dipenuhi saling mencela, saling menjatuhkan, dan saling menipu. 


Kepemimpinan masa depan Indonesia membutuhkan nilai-nilai lokal yang diangkat ke panggung nasional.


KDM sudah membuktikannya dalam kebijakan-kebijakan bernuansa budaya: pelestarian situs adat, etika ruang publik, dan kampanye cinta lingkungan yang konkret.


Soekarno pernah mengatakan “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati leluhurnya.”


Sosok KDM adalah jembatan antara masa depan dan akar kita yang sering dilupakan. Ia menyatukan nilai dengan inovasi. Inilah politik yang memanusiakan manusia.


Menjawab Kekosongan Kepemimpinan Etis


Situasi politik nasional pasca-2024 menunjukkan kekosongan figur pemersatu yang berakar dan beretika. 


Di tengah fragmentasi elite dan penguatan politik transaksional, sosok seperti KDM adalah jawaban: merakyat tapi tidak populis, tenang tapi berani, sederhana tapi cerdas.


KDM telah memberi, tanpa banyak menuntut sorotan. Kini waktunya kita melihat—dengan jernih dan tanpa bias politik lama—bahwa pemimpin seperti inilah yang kita butuhkan.


Apakah Indonesia Siap? Pertanyaannya kini bukan pada KDM: apakah ia siap? 


Tapi pada kita semua sebagai bangsa: apakah kita cukup dewasa untuk memberi ruang pada pemimpin seperti dia? 


Pemimpin yang tidak menebar janji, tetapi sudah menanam bukti. Pemimpin yang tidak tampil untuk bersinar sendiri, tapi untuk menerangi jalan rakyat.


Dan kemungkinan terbaik kita hari ini mungkin ada di tempat yang tak banyak kita duga: dari Purwakarta, dari Sunda, dari sosok sederhana bernama Kang Dedi Mulyadi. Apakah dia akan jadi pemimpin 2029? ***

Komentar