Misalnya, ketika anak presiden mencalonkan diri, ia bukan sekadar warga biasa. Ia membawa nama besar, dukungan politik struktural, dan fasilitas negara. Maka, kontestasi politik tidak lagi adil. Di sinilah pentingnya memahami demokrasi bukan semata prosedur, tetapi juga substansi: apakah pemilu benar-benar membuka ruang yang setara bagi semua warga negara?
Dalam demokrasi substansial, kesetaraan kesempatan adalah prinsip utama. Namun, ketika satu keluarga menguasai jabatan publik secara beruntun dan bertingkat, sistem tersebut telah kehilangan rohnya.
Peran Partai Politik: Dari Sekolah Demokrasi ke Agen Oligarki
Partai politik seharusnya menjadi kanal utama untuk regenerasi kepemimpinan dan agregasi kepentingan rakyat. Namun, di tengah dinasti rente, partai justru menjadi kendaraan elite. Kandidat diusung bukan berdasarkan visi, integritas, atau kapasitas, melainkan karena kedekatan darah dan besaran mahar politik.
Dalam banyak kasus, partai bahkan tidak punya otonomi ideologis. Mereka tunduk pada keputusan pemilik modal dan petinggi partai yang memiliki hubungan keluarga dengan elite kekuasaan. Fenomena ini terjadi di hampir semua partai besar di Indonesia. Partai menjadi klub eksklusif bagi keluarga elite, sementara rakyat hanya menjadi penonton.
Jika tidak ada reformasi serius dalam tubuh partai politik, maka mustahil berharap demokrasi Indonesia bisa berkembang menjadi lebih substantif. Partai harus kembali ke akar ideologinya, membuka ruang bagi kader-kader muda, dan menolak skema dinasti yang merusak.
Dampak Sosial: Membekukan Mobilitas dan Memupuk Apatisme
Dinasti rente bukan hanya masalah politik; ia juga berdampak langsung pada kehidupan sosial dan ekonomi rakyat. Ketika jabatan publik dikuasai oleh elite yang sama, kebijakan publik cenderung eksklusif dan tidak responsif terhadap kebutuhan akar rumput.
Lebih jauh, sistem ini membekukan mobilitas sosial. Anak petani atau buruh, betapapun cerdasnya, akan sangat sulit menembus arena kekuasaan karena tidak memiliki akses, modal, atau jaringan. Maka, harapan rakyat terhadap perubahan makin tipis, dan apatisme politik tumbuh subur. Rakyat tidak percaya lagi bahwa pemilu bisa membawa perubahan.
Di sinilah bahaya terbesar dinasti rente: ia merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Ketika rakyat tidak lagi percaya, sistem politik kehilangan legitimasi moralnya.
Solusi: Mengembalikan Demokrasi pada Rakyat
Untuk melawan dinasti rente, diperlukan pendekatan multi-level: dari reformasi hukum, penguatan partai, hingga pendidikan politik publik. Beberapa langkah konkret antara lain:
1. Regulasi Ketat terhadap Konflik Kepentingan Keluarga Pejabat
UU Pilkada dan Pemilu harus memasukkan klausul soal batasan pencalonan anggota keluarga pejabat dalam waktu tertentu, terutama di wilayah yang sama.
2. Reformasi Partai Politik
Mekanisme kaderisasi dan demokrasi internal partai harus diperkuat. Keterlibatan publik dalam menentukan calon harus diperluas.
3. Transparansi dan Akuntabilitas Publik
Lembaga negara harus memperkuat sistem transparansi, terutama dalam hal pendanaan kampanye dan rekam jejak calon.
4. Literasi Politik Rakyat
Masyarakat harus terus diberdayakan melalui pendidikan politik agar tidak mudah terjebak dalam politik identitas dan kultus individu.
5. Peran Media dan Civil Society
Media dan organisasi masyarakat sipil harus terus menjadi penjaga demokrasi dengan mengawasi, mengkritik, dan memberikan alternatif narasi yang berkeadaban.
Penutup: Melawan dengan Kesadaran
Dinasti rente adalah bentuk mutakhir dari kekuasaan yang membajak demokrasi demi kepentingan sempit. Ia berpakaian demokratis, tetapi berhati otoriter. Melanggengkannya berarti menyerahkan masa depan republik ini pada kekuasaan yang turun-temurun, bukan pada rakyat.
Indonesia membutuhkan demokrasi yang hidup, partisipatif, dan substantif. Untuk itu, kita harus berani melawan segala bentuk pembusukan kekuasaan, termasuk dinasti rente yang membungkus dirinya dalam jargon demokrasi. Melawan dinasti rente bukan soal benci pada individu atau keluarga tertentu, tetapi soal membela sistem agar tetap adil, setara, dan berpihak pada rakyat.
Demokrasi sejati hanya bisa tumbuh jika rakyat memiliki pilihan yang bebas, informasi yang jernih, dan kesempatan yang setara. Maka, tugas kita hari ini bukan sekadar memilih pemimpin, tetapi menjaga agar sistem yang kita warisi ini tidak dibajak oleh nama-nama besar yang mengklaim cinta tanah air, namun menukar suara rakyat dengan warisan kekuasaan.
(Penulis adalah pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, dan esais)
 
                         
                                 
                                             
                                             
                                             
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                 
                                                
Artikel Terkait
Kisah Mualaf Jenderal Kopassus Lodewijk Freidrich Paulus, Sempat Ditentang Keluarga dan Disebut Bakal Masuk Neraka
Viral, Pria di Sragen Robohkan Rumah Sendiri Gegara Pergoki Istri Selingkuh Lewat CCTV
Kisah Randika Pemuda yang Ditemukan Tewas Kelaparan, Pernah Viral Ingin Dipenjara Biar Bisa Makan
Purbaya Semprot Pemda: Stop Protes Data, Pastikan Uang Rakyat Dibelanjakan Tepat Sasaran!