Filosofi Aneh Jokowi: 'Seribu Musuh Terlalu Sedikit, Satu Kawan Terlalu Banyak'
Oleh: Buni Yani
Jokowi memang tokoh yang sangat kontroversial, anti mainstream, dan sangat senang disorot media. Sein kanan belok kiri sudah menjadi trademarknya.
Bagi kebanyakan orang, itu merupakan inkonsistensi dan bentuk kebohongan akut yang tidak bisa diobati. Tetapi bagi pengagumnya, itu adalah strategi politik yang halal.
Jokowi tidak henti-hentinya memperlebar area permusuhan.
Setelah 10 tahun merusak republik dengan berbagai macam kebohongan dan kebijakan yang menyengsarakan rakyat, Jokowi bukannya tobat dan meminta maaf kepada rakyat, malah semakin menjadi-jadi menebarkan permusuhan dan membuat kerusakan.
Terakhir dia melontarkan pernyataan yang memicu perlawanan dari Partai Demokrat.
Kata Jokowi, ada orang besar dengan agenda politik di balik semakin intensifnya penyelidikan mengenai ijazah palsunya. Relawannya memperjelas pernyataan Jokowi itu.
Yang dimaksud adalah seorang tokoh dari partai berwarna biru yang ingin anaknya menggantikan Gibran menjadi wapres.
Pernyataan ini sudah secara spesifik mengarah ke SBY. Tidak ada tokoh lain dengan kriteria seperti demikian.
Karena merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan, kontan kader-kader Partai Demokrat bereaksi keras.
Kader partai berwarna biru itu menyerang balik Jokowi dan pendukungnya. Reaksi keras ini bukanlah hal baru.
Dulu ketika Partai Demokrat mau direbut Moeldoko juga melakukan hal yang sama.
Perlawanan Partai Demokrat ke Jokowi sangat bisa dimengerti.
Karena bila tuduhan Jokowi itu benar bahwa perkara ijazah palsunya yang sudah berbulan-bulan ini menjadi isu nasional adalah pekerjaan SBY, maka itu artinya Jokowi adalah korban kejahatan pihak lain.
Bila Jokowi adalah korban, artinya Jokowi ingin mengatakan ijazahnya adalah asli. Ini murni perkara politik, bukan hukum.
Inilah logika yang coba dibangun oleh Jokowi dengan melibatkan dan memperluas konflik. Tetapi publik amat meragukan logika yang coba dibangun Jokowi.
Aktivis Roy Suryo, Rismon Sianipar dan Tifauzia Tyassuma adalah orang-orang kampus dan alumni UGM yang datang dengan fakta yang sangat sulit dibantah.
Mereka datang dengan fakta, bukan dengan asumsi atau kebencian.
Mereka melakukan pekerjaan akademik yaitu penelitian yang disertai bukti-bukti yang memang masuk akal, bukan agenda politik untuk menjatuhkan pihak tertentu.
Ketiga peneliti itu melakukan hal yang wajar saja dalam dunia akademik. Tidak ada yang istimewa karena mereka menggunakan kaidah yang berlaku dalam dunia penelitian.
Bahwa kemudian Jokowi dan pendukungnya marah karena hasil penelitian mereka tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, itu di luar dari soal-soal akademik. Itu juga di luar dari yang mereka harapkan.
Yang mereka tahu bahwa sesuai fakta yang mereka temukan, karena mereka semua adalah alumni UGM, ijazah dan skripsi Jokowi tidak tampak seperti asli UGM.
Reaksi Jokowi dan pendukungnya yang rata-rata bukan alumni UGM langsung menuduh hasil ini bermuatan politis untuk menjatuhkan Jokowi.
Di pihak lain, rakyat yang sudah kenyang ditipu selama 10 tahun oleh Jokowi mengatakan tanpa ada pihak lain pun Jokowi sudah merusak nama baiknya sendiri melalui kata dan tindakannya yang melawan kebenaran, keadilan, kepatutan dan moralitas yang berlaku umum.
Menggunakan logika Jokowi dan para pendukungnya bahwa tidak ada yang tidak politis bila berkaitan dengan Jokowi adalah usaha berkelit dan cuci dosa dari perkara pidana yang harus dihadapi.
Sudah tidak terhitung bukti yang menyeruak ke publik yang sudah tidaki bisa lagi dibantah.
Tak kurang dari mantan rektor UGM Prof Sofian Effendi memberikan fakta yang amat menyentak bahwa Jokowi tak pernah tamat dari program S1 Fakultas Kehutanan UGM.
Meskipun Prof Sofian menarik pernyataannya itu karena mendapatkan tekanan, tetapi publik yakin bahwa pernyataannya sebelum ditarik itulah kebenaran yang sesungguhnya.
Sebagai mantan rektor tentu Prof Sofian tidak sembarang bicara.
Diakuinya bahwa setelah melakukan penelusuran ke staf administrasi dan akedmik UGM, nama Jokowi tidak pernah ada dalam daftar yang tamat dari program sarjana Fakultas Kehutanan.
Kalaupun Jokowi pernah kuliah di fakultas tersebut, paling banter Jokowi mendapatkan gelar sarjana muda BSc yang memang masih berlaku pada tahun 1985-an, bukan gelar sarjana penuh Ir (insinyur).
Publik bertanya-tanya, bagaimana Jokowi dan pendukungnya sampai pada kesimpulan bahwa SBY dalang di balik kasus ijazah palsunya? Apakah mereka sudah mengantongi bukti yang tidak terbantahkan melalui jaringan penegak hukum yang masih dikuasai Jokowi di pemerintahan Prabowo?
Bila Jokowi dan pendukungnya tidak bisa membuktikan tuduhan itu, maka jelas ini kecerobohan dan blunder politik yang merugikan Jokowi yang semakin hari ruang geraknya semakin sempit.
Tuduhan Jokowi jelas memperluas medan pertempuran dengan membuat musuh baru.
Ini tentu gestur politik aneh yang cuma Jokowi dan pendukngnya yang paham.
Dalam perkembangan terbaru, Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, dua orang yang dianggap diperkarakan oleh Jokowi sendiri melalui jaringan penegak hukum yang masih dikuasainya.
Abolisi dan amnesti ini dianggap sebagai menurunnya pengaruh Jokowi dan sinyal Prabowo semakin menjauh dari pengaruh Jokowi.
Dalam kondisi semakin terjepit dan menurunnya pengaruh, tetapi Jokowi justru membuat musuh baru, membuat publik bertanya-tanya.
Mengapa Jokowi melakukan ini? Kalau tidak sangat cerdas dengan perhitungan yang matang, tentu Jokowi sangatlah bodoh melakukan hal yang tabu dalam dunia politik.
Seharusnya Jokowi mencari sebanyak-banyaknya sekutu dan menghindari bahkan satu musuh pun.
Tapi itulah Jokowi, manusia dengan 1001 kontroversi, 1001 kebohongan, dan dosa yang tak terhitung.
Pikiran-pikiran normal dan sehat selama 10 tahun kekuasaannya menjadi tak berguna dan dinistakan, sementara pada saat yang sama dia melakukan normalisasi pikiran bodoh dan tindakan zalim.
Kini rakyat kecil mengenalnya sebagai presiden bansos. Bansos yang berasal dari kantong dan kebaikan Jokowi pribadi, bukan bansos yang berasal dari anggaran negara.
Tapi syukurlah 10 tahun di antara yang tersulit dalam sejarah republik berakhir sudah.
Kini kita minta Jokowi bertanggung jawab atas semua dosa dan kezalimannya, termasuk tudingan bahwa ijazahnya 100 persen palsu.
Biarlah kontroversi itu menjadi milik Jokowi dan pendukungnya karena toh sejarah jua yang akan menjadi saksi dan hakim terbaik.
Seaneh apa pun cara berpikir Jokowi, kita maklumi saja. Karena melalui itulah ia ingin dikenal publik.
Termasuk filosofi anehnya: seribu musuh terlalu sedikit, satu kawan terlalu banyak. ***
Artikel Terkait
Jokowi Tertawa Dituduh Untung dari Isu Ijazah Palsu: Kalau Mau Saya Diuntungkan, Buatlah Gaduh Terus
Detik-detik Mencekam Pesawat Dipiloti Marsma Fajar Adrianto Terekam Kamera Warga Sebelum Jatuh
Abolisi Prabowo Bukan Demi Tom Lembong, Tapi Untuk Menyelamatkan Jokowi!
Sentilan Menohok Helmy Yahya soal Blokir Rekening Nganggur: Giliran Kita Nganggur Tak Diurus!