Jebakan Politik: Jokowi 'Plonga-Plongo' Jangan Sampai Terulang Pada Gibran!
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Dalam dunia jurnalistik dikenal istilah name makes news: nama tokoh besar yang muncul dalam judul akan langsung memikat pembaca.
Judul “Jokowi ‘Plonga-plongo’ Jangan Sampai Terulang pada Gibran” bukan sekadar permainan diksi, tetapi sebuah penekanan bahwa politik kita terlalu sering dikendalikan oleh citra, bukan substansi.
Istilah “plonga-plongo” pernah melekat pada Joko Widodo ketika ia mulai naik ke panggung nasional.
Ia dijual sebagai sosok sederhana, “muka wong desa” yang polos dan apa adanya.
Publik jatuh hati pada citra itu. Ia dipersepsikan sebagai simbol rakyat kecil yang berhasil menembus dominasi elit.
Namun, yang terabaikan adalah pertanyaan mendasar: apakah kesederhanaan wajah bisa menjamin kedalaman visi?
Apakah kepolosan ekspresi mampu menjawab kompleksitas tantangan bangsa?
Selama sepuluh tahun pemerintahannya, kita menyaksikan kenyataan bahwa kesederhanaan citra tidak serta merta berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan.
Demokrasi justru tergelincir ke arah nepotisme politik, pelemahan institusi, hingga lahirnya dinasti kekuasaan.
Jokowi lebih sering dilihat dari sisi dramatisasi politiknya, bukan dari ketajaman kebijakan.
Inilah konsekuensi dari politik yang ditransformasikan menjadi tontonan: penonton jatuh hati pada karakter, bukan pada gagasan.
Kini, pola yang sama berpotensi berulang pada Gibran Rakabuming Raka.
Sebagai wakil presiden termuda, Gibran hadir dengan citra segar: muda, sederhana, spontan, bahkan kadang dipersepsikan “lugu.”
Citra ini dengan cepat mengundang simpati publik, terlebih dalam era media sosial yang menyanjung kesan instan ketimbang analisis substansial.
Tetapi di sinilah bahayanya: jangan sampai publik kembali terperangkap pada wajah polos, sementara kemampuan kepemimpinan belum teruji.
Media sosial, dengan banjir konten dangkalnya, memperkuat risiko ini.
Debat capres 2024 memberi contoh: publik lebih banyak memperbincangkan ekspresi wajah, intonasi, atau gestur kandidat ketimbang isi gagasan.
Meme politik beredar lebih cepat daripada analisis kebijakan.
Fenomena ini melahirkan apa yang bisa disebut sebagai rot brain effect: publik kehilangan kapasitas reflektif akibat paparan terus-menerus pada konten banal.
Jika fenomena “plonga-plongo” terulang pada Gibran, maka bangsa ini kembali masuk ke dalam lingkaran politik sandiwara.
Wajah sederhana dan citra lugu mungkin memikat hati, tetapi tidak cukup untuk membawa arah baru bagi republik.
Pelajaran dari Jokowi harusnya jelas: politik tidak boleh berhenti pada level tontonan.
Publik berhak menuntut pemimpin yang tidak hanya sederhana dalam gaya, tetapi juga cerdas dalam strategi, tajam dalam visi, dan tegas dalam komitmen.
Gibran, sebagai generasi baru, seharusnya diuji pada substansi, bukan sekadar dipuja karena citra.
Maka, judul esai ini adalah sebuah pengingat: “Jokowi ‘Plonga-plongo’ Jangan Sampai Terulang pada Gibran.”
Sebuah peringatan agar demokrasi tidak kembali jatuh pada jebakan politik sebagai drama, penuh tepuk tangan dan sorakan, tetapi kosong dari isi. ***
Artikel Terkait
Kecam Serangan Israel, Pemimpin Arab-Muslim Gelar KTT Darurat di Qatar
Prabowo Mulai Reshuffle, Gibran Mulai Blusukan
HEBOH Rudal Terbang di Langit Madinah Arab Saudi, Ledakan Terdengar!
Kontroversial! Ini Isi Pidato Remaja Nepal Yang Sulut Amarah Gen Z Hingga Turun ke Jalan