"Tahun 1998 saya sudah jadi dosen. Jadi, logika saya mengatakan memang terjadi peristiwa pelanggaran HAM di tahun 1998. Sebelum Komnas HAM menentukan, itu kan ada TGPF yang ada Hermawan Sulistyo atau Kiki. Itu dia bicara ada pelanggaran," jelas Mahfud.
Kemudian ada kesaksian langsung dari korban kekerasan seksual yang menurutnya tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Ada seorang tokoh terkenal sekali, dia trauma karena istri dan anaknya diperkosa di depan dia. Dia pergi ke Amerika Serikat, sudah pulang ke Indonesia, dia cerita. Kalau saya lihat dengan mata karena anak dia dan istri dia (menjadi korban)," urai Mahfud.
Pelanggaran HAM berat juga sudah ditetapkan sebagai fakta hukum oleh Komnas HAM berdasarkan mandat undang-undang.
"(Temuan Komnas HAM) enggak bisa dihapus. Hapus dalam buku, besok akan ditulis orang lagi dalam sejarah yang berbeda,” katanya.
Belum lagi soal penyelesaian non yudisial terhadap pelanggaran HAM sudah mendapat pengakuan internasional, yakni PBB.
Maka dari itu, Mahfud menyebut sejarah pelanggaran HAM tidak bisa dihapus begitu saja.
“Sejarahnya tidak bisa dihapus. Tetapi mungkin pengadilannya bisa diperbaiki. Biarkan sejarawan menulis sendiri. Orang bisa analisis sendiri," pungkas Mahfud.
Sumber: RMOL
                        
                                
                                            
                                            
                                            
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
                                                
Artikel Terkait
Ekonom Deteksi Rencana Jahat di Proyek Whoosh Bengkak 1,2 Miliar USD
Prabowo Tegaskan Whoosh Tidak Bermasalah, Negara Sanggup Bayar
Reaksi Jokowi Usai Tahu Logo Wajahnya Dibuang Ormas Projo
Soal Projo Merapat ke Gerindra, Pengamat Sebut Strategi Penyusupan Jokowi