FITRA Desak KPK Periksa Bobby Nasution Terkait Dugaan Pergeseran APBD Penyebab Kadis PUPR Topan Ginting di OTT

- Rabu, 27 Agustus 2025 | 15:20 WIB
FITRA Desak KPK Periksa Bobby Nasution Terkait Dugaan Pergeseran APBD Penyebab Kadis PUPR Topan Ginting di OTT




NARASIBARU.COM - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mendesak Komisi pemberantasan korupsi (KPK) agar memeriksa tim transisi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang diduga terlibat melakukan pergeseran APBD Sumut yang akhirnya menyebabkan korupsi Kadis PUPR Topan Ginting terungkap dalam operasi tangkap tangan (OTT).


Pasalnya, proyek jalan yang menjerat Kadis PUPR Topan Obaja Ginting, ternyata tidak ada dalam perencanaan anggaran tahun berjalan.


Namun, proyek itu kemudian tiba-tiba muncul dan mendapatkan alokasi anggaran.


Adapun tim transisi Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang terlibat dalam pergeseran anggaran di antaranya; Dida (Ketua Kadin yang menjadi Komisaris Utama Bank Sumut), Yudha (Dewan Pengawas PDAM Tirtanadi), Wahyu (Dosen USU), Khafi (Komisaris KIM), Dicky (Sekretaris Bapemdabalitbang Provsu), dan Ricky (Keluarga Bobby Nasution).


Selain itu, KPK juga didesak harus memeriksa Bobby Nasution.


Manajer Riset Seknas Fitra Badiul Hadi, Selasa (26/8/2025) malam menegaskan bahwa OTT kepala Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara dan dugaan pergeseran anggaran APBD menuju proyek infrastruktur jalan membuka kembali problem klasik tata kelola keuangan daerah: minimnya transparansi, lemahnya partisipasi publik, serta rentannya kebijakan fiskal dijadikan instrumen rente politik.


"Pergeseran anggaran diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, di mana perubahan alokasi anggaran seharusnya dibahas bersama DPRD melalui mekanisme perubahan APBD, dan tidak bisa diputuskan sepihak oleh eksekutif apalagi oleh tim non struktural," jelas Badiul.


Selain itu, ujarnya, jika benar dugaan bahwa tim efisiensi APBD diisi oleh kerabat dan eks tim sukses politik, maka praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance dan akuntabilitas publik sebagaimana digariskan dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang menekankan pentingnya pencegahan nepotisme dalam pengelolaan anggaran.


"Kasus ini semakin krusial mengingat KPK sebelumnya telah melakukan OTT terhadap Kadis PUPR Topan Ginting terkait proyek jalan senilai Rp 231,8 miliar," katanya.


Di titik ini, ungkapnya, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci. 


"KPK harus segera menindaklanjuti memeriksa para pihak yang diduga terlibat, untuk memastikan apakah pergeseran anggaran tersebut merupakan kebijakan sah ataukah menjadi bagian dari modus korupsi terstruktur," jelasnya.


KPK hingga saat ini belum memeriksa Bobby Nasution dalam perkara tersebut. 


Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sempag menyatakan pihaknya akan memanggil Bobby jika memang penyidik membutuhkan keterangannya. 


“Bila dibutuhkan informasi dan keterangannya, maka penyidik tentu akan melakukan pemanggilan untuk dimintai keterangan,” kata Budi Juli lalu.


Kata Badiul, penundaan pemeriksaan hanya akan memperkuat persepsi publik bahwa ada perlakuan khusus terhadap pejabat politik. 


"Dan bisa menggerus kepercayaan publik pada KPK," tegasnya.


Di lain sisi, DPRD Sumut sebagai lembaga pengawas anggaran juga tidak boleh diam. 


"Mekanisme check and balance melalui hak interpelasi atau hak angket seharusnya digunakan utk meminta pertanggungjawaban Gubernur, mengingat pergeseran anggaran APBD tanpa pembahasan resmi dengan legislatif merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas publik," katanya.


Dugaan keterlibatan Bobby menurut Fitra


Peneliti Fitra Sumatera Utara Elfenda Ananda mengungkapkan dugaan keterlibatan Gubernur Sumut Bobby Nasution dalam kasus korupsi proyek pembangunan jalan yang melibatkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Topan Obaja Putra Ginting. 


Menurut Elfanda, Bobby patut dicurigai terlibat karena menggeser Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumut 2025 dari sejumlah dinas ke Dinas PUPR.


Elfenda menyatakan pergeseran anggaran itu mencapai Rp 425 miliar. 


Total anggaran Dinas PUPR Sumut tahun ini melonjak menjadi Rp 1,25 triliun dari sebelumnya hanya sekitar Rp 800 miliar. 


Yang jadi masalah pergeseran anggaran itu seharusnya dialokasikan untuk kegiatan produktif seperti alat pertanian, permodalan usaha kecil.


"Bukan untuk pembangunan jalan. Akan tetapi di usaha - usaha produktif, tidak ada fee seperti di Dinas PUPR. Dan terbukti pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar yang anggarannya masih digeser dari anggaran dinas lain malah sudah jadi bancakan. OTT (Operasi Tangkap Tangan) Topan Ginting menjadi bukti," kata Elfenda.


Diketahui bahwa KPK menangkap Topan Ginting dan sejumlah orang lainnya pada di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 26 Juni 2025. 


Penangkapan itu berhubungan dengan suap dalam proyek pembangunan jalan di Sumut.


Proyek pertama berada di Dinas PUPR Provinsi Sumatera Utara, meliputi pembangunan Jalan Sipiongot–Batas Labusel senilai Rp 96 miliar dan pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot senilai Rp 61,8 miliar.


Proyek kedua berada di Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Sumatera Utara, yakni meliputi preservasi Jalan Simpang Kota Pinang–Gunung Tua–Simpang Pal XI untuk tahun anggaran 2023 senilai Rp 56,5 miliar, proyek serupa untuk tahun 2024 senilai Rp 17,5 miliar, serta rehabilitasi dan penanganan longsoran di ruas jalan yang sama untuk tahun 2025.


“Dengan adanya proyek jalan tersebut senilai Rp 231,8 miliar, maka kami memutuskan ini karena sudah ada pergerakan uang,” kata Asep saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK pada Sabtu (28/6/2025) lalu.


Menurut Elfenda praktik pergeseran anggaran itu juga terjadi di era Penjabat Gubernur Sumatera Utara Agus Fatoni. 


Proyek jalan Sumatera Utara yang kemudian diusut oleh KPK, kata Elfenda, sebenarnya belum ada anggarannya. 


"Padahal uang untuk pembangunan jalan masih dicari dan akan digeser dari dinas - dinas lain ke Dinas PUPR. Seolah - olah anggaran proyek pembangunan jalan senilai Rp 231,8 miliar itu sudah tersedia sehingga kontraktor tergiur dan berani memberikan imbalan alias uang muka." 


"Semua itu terjadi diawali dari keinginan Gubernur Sumut Bobby Nasution membangun jalan meski anggaran belum tersedia," beber Elfenda.


Elfenda juga mengkritik cara Bobby melakukan efisiensi anggaran dengan cara memotong anggaran dari dinas yang menyangkut hajat hidup orang banyak. 


Bobby, ujarnya, mengalihkan anggaran itu untuk pembangunan jalan dengan dalih situasi darurat.


"Tim efisiensi APBD bentukan Bobby Nasution tidak boleh melakukan pemotongan anggaran dari berbagai dinas dan mengalihkannya dengan dalih situasi darurat untuk pembangunan jalan di Sumut."


"Pembangunan jalan bukan termasuk kategori darurat sesuai Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 1 Tahun 2025 yang selalu dijadikan dasar hukum oleh pemerintah daerah melakukan pergeseran anggaran," jelas Elfenda.


Dia menegaskan bahwa tim efisiensi APBD seharusnya hanya berfungsi sebagas menyarankan efisiensi anggaran, bukan mengalihkannya apalagi sampai ikut mengeksekusi. 


Apalagi tim efisiensi APBD bentukan Bobby Nasution sarat dengan nepotisme. 


"Saya dengar dan ikuti dalam pemberitaan, tim efisiensi APBD Sumut bentukan Bobby sebagian besar tim sukses dan keluarga dan sepupu Bobby." 


"Beberapa diantaranya mantan tim pemenangan Bobby bernama Yudha Johansyah dan Firsal Mutyara. Mestinya tim efisiensi anggaran bukan tim sukses apalagi keluarga agar tidak ada konflik kepentingan," tutur Elfenda.


Adapun KPK sebelumnya telah memanggi Deddy Rangkuti yang merupakan sepupu Bobby Nasution. 


Dia diperiksa KPK di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Padang Sidimpuan, Sumut, 15 Agustus 2025. 


Deddy Rangkuti dan saudaranya Ricky Rangkuti disebut ikut membas pergeseran APBD Sumut 2025 termasuk usulan sejumlah proyek pembangunan jalan di Sumut senilai Rp 231,8 miliar. 


Mantan bendahara tim pemenangan Bobby sekaligus Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut, Firsal Mutyara, mengatakan ia selalu berkomunikasi dan memberikan pandangan kepada gubernur dan forum komunikasi pimpinan daerah mendorong perkembangan ekonomi Sumut.


"Saya selalu berkomunikasi kepada gubernur dan memberikan pandangan. Saya kurang tau mengenai yang lainnya," kata Firsal yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama Bank Sumut. 


Salah satu pejabat Eselon III Dinas Sosial Sumut mengatakan, APBD Sumut 2025 telah dirombak sebanyak empat kali oleh tim bayangan bentukan Gubernur Sumut Bobby Nasution. 


Tim tersebut, katanya, bekerja tanpa SK dan melakukan pergeseran mata anggaran secara ugal - ugalan termasuk di Dinas Sosial.


"Anggaran di semua dinas dievaluasi. Kami setuju perjalanan dinas dipangkas demi efisiensi anggaran, namun banyak anggaran yang bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak dialihkan ke pembangunan infrastruktur. Pemotongan anggaran dilakukan tanpa konsultasi dengan kepala dinas. Padahal program sudah disusun oleh Tim Anggaran Pemerintahan Daerah atau TAPD," katanya.


Sementara Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sumatera Utara Erwin Hotmansah Harahap mengatakan, untuk mengakomodir Perpres Nomor 1 Tahun 2025, kepala daerah terpilih seperti Bobby Nasution dapat membentuk tim percepatan, tim efisiensi hingga tim asistensi anggaran APBD.


"Untuk Sumut saya belum tahu pak gubernur mengakomodir Perpres Nomor 1 Tahun 2025 dengan membentuk tim percepatan, tim efisiensi atau tim asistensi. Nanti saya konfirmasi dulu nama - nama yang disebut sebagai tim efesiensi anggaran tersebut," demikian Erwin.


KPK tengah mendalami proses pergeseran anggaran


Pendalaman ini dilakukan saat memeriksa Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut, M Ahmad Effendy Pohan, sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7/2025).


Ahmad Effendy Pohan adalah pejabat senior di Pemprov Sumut yang telah menduduki berbagai posisi strategis selama kariernya.


Dia menjadi Penjabat (Pj) dan Pelaksana Harian (Plh) Sekretaris Daerah Sumut dalam beberapa periode antara Desember 2024 hingga Juni 2025.


Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, sempat menjelaskan fokus utama pemeriksaan terhadap Ahmad Effendy Pohan adalah untuk menelusuri bagaimana proyek yang sebelumnya tidak ada dalam perencanaan bisa muncul dan mendapatkan alokasi dana.


"Didalami terkait dengan pergeseran anggaran," kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa.


"Jadi dua proyek di PUPR itu kan sebelumnya belum masuk ya di dalam perencanaan anggaran. Kemudian proyek itu muncul, dan itu bagaimana prosesnya kita dalami," sambungnya.


Budi menegaskan bahwa pergeseran anggaran tersebut terjadi pada tahun anggaran yang sama, sesuai dengan kurun waktu (tempus) perkara yang sedang diusut oleh KPK.


Namun, saat ditanya apakah pergeseran anggaran tersebut diketahui oleh Gubernur Sumut Bobby Nasution yang menjabat saat itu, Budi enggan berkomentar lebih jauh. 


Ia menyatakan bahwa materi detail penyidikan belum dapat disampaikan kepada publik.


"Kami belum bisa sampaikan secara detail materi penyidikan ini, namun secara umum yang didalami terhadap saksi yang hari ini dipanggil adalah terkait dengan pergeseran anggaran tersebut," jelasnya.


Adapun lemanggilan Pj Sekda Sumut ini merupakan bagian dari pengembangan kasus yang berawal dari OTT yang dilakukan KPK pada akhir Juni 2025. 


Dalam operasi senyap tersebut, KPK menetapkan lima orang di antaranya:


1. Rasuli Efendi Siregar (RES) selaku Kepala UPTD Gunung Tua Dinas PUPR Provinsi Sumut merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).


2. Heliyanto (HEL), selaku PPK Satker PJN Wilayah I Provinsi Sumut.


3. M Akhirun Efendi Siregar (KIR) selaku Direktur Utama PT Dalihan Natolu Grup (DNG).


4. M Rayhan Dulasmi Pilang(RAY) selaku Direktur PT Rona Na Mora (RN).


5. Topan Obaja Putra selaku Kadis PUPR Sumut.


Atas perbuatan tersebut, Topan, Rasuli, dan Heliyanto disangkakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 11, atau 12B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Sementara itu, Akhirun dan Rayhan disangkakan telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.


Kasus ini menyangkut dugaan korupsi pada sejumlah proyek pembangunan dan preservasi jalan di Dinas PUPR Sumut serta di Satuan Kerja Pembangunan Jalan Nasional (PJN) Wilayah I Provinsi Sumut dengan total nilai proyek mencapai sedikitnya Rp 231,8 miliar. 


KPK menduga ada janji pemberian fee sebesar Rp 8 miliar kepada para pejabat, di mana Rp 2 miliar di antaranya telah ditarik oleh pihak swasta dan diduga akan didistribusikan.


Ada dua kasus yang digarap KPK.


Pertama terkait dengan proyek-proyek pembangunan jalan di Dinas PUPR Sumut, yaitu:


a. Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang–Gunung Tua–SP. Pal XI tahun 2023, dengan nilai proyek Rp 56,5 miliar;


b. Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang–Gunung Tua–Sp. Pal XI tahun 2024, dengan nilai proyek Rp17,5 miliar;


c. Rehabilitasi Jalan Sp. Kota Pinang–Gunung Tua–Sp. Pal XI dan penanganan longsoran tahun 2025;


d. Preservasi Jalan Sp. Kota Pinang–Gunung Tua–Sp. Pal XI tahun 2025.


Perkara kedua terkait dengan proyek-proyek pembangunan jalan di Satker PJN Wilayah 1 Sumut, yaitu:


a. Proyek pembangunan Jalan Sipiongot batas Labusel, dengan nilai proyek Rp 96 miliar;


b. Proyek pembangunan Jalan Hutaimbaru–Sipiongot, dengan nilai proyek Rp 61,8 miliar. 


Sumber: MonitorIndonesia

Komentar