Akan berbeda cerita bila masih ada lembaga yang menjalankan fungsi kontrol selugas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di masa lalu.
Kalau masih ada MPR tentu bisa dievaluasi. Utang dipakai untuk apa saja? Bentuk pertanggung- jawaban presiden seperti apa? Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintahan di masa depan. Jika utang ugal-ugalan lagi maka MPR bisa memecatnya,” pungkas Salamuddin.
Terkait utang, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlahnya bertambah Rp 5.125,1 triliun sepanjang 2015 hingga 2022.
Hal itu diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo dari cuitannya di Twitter @prastow, Rabu (9/8/2023), yang membahas mengenai utang pemerintah. Ia menjelaskan, jumlah utang tersebut lebih rendah dibandingkan belanja negara untuk sejumlah keperluan prioritas. “Manfaat melebihi utang. Sepanjang 2015-2022, penambahan utang sebesar Rp 5.125,1 triliun masih lebih rendah dibandingkan belanja prioritas,” cuit Prastowo.
Adapun belanja negara yang lebih besar dari utang adalah untuk keperluan perlindungan sosial atau bansos, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, nilainya Rp 8.921 triliun. Jadi, saat utang bertambah tetapi dana yang digelontorkan untuk kepentingan masyarakat sangat tercukupi bahkan lebih.
Sumber: inilah.
Artikel Terkait
Mulai 1 Februari 2025, Elpiji 3 kg Tak Lagi Dijual di Pengecer
Peringatan BMKG: Gempa Megathrust Mentawai-Siberut Tinggal Menunggu Waktu, Bisa Capai M 8.9
Prihatin Soal Konflik PKB vs PBNU, Komunitas Ulama dan Nahdliyin Keluarkan 9 Rekomendasi
Cabut Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi, DPR: Jangan Buka Ruang Generasi Muda untuk Berzina!