Oleh:Defiyan Cori
PEMERINTAH secara resmi menetapkan Whoosh sebagai nama resmi Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) pada 21 September 2023. Whoosh merupakan singkatan dari Waktu Hemat, Operasi Optimal, Sistem Handal. Menurut Ketua tim panel penilai lomba Identitas Jenama Kereta Cepat Indonesia, Triawan Munaf "Whoosh" memiliki arti sesuai dengan kesan pertama saat mengetahui kecepatan kereta api cepat Indonesia itu. Setelah beroperasi bagaimanakah kecepatan kinerja "Whoosh" yang berada dalam koordinasi Kementerian Perhubungan tersebut?
Pasalnya, pengelolaan bisnis kereta cepat pertama Indonesia sedang menjadi sorotan tajam publik. Mengapa menjadi sorotan publik? Tidak lain adalah kerugian yang mendera manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) jasa transportasi perkeretaapian, yaitu PT. (Persero) Kereta Api Indonesia (KAI). Berdasar laporan PT. KAI per 30 Juni 2025 (unaudited) PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) selaku entitas asosiasi KAI, mencatatkan kerugian semester I/2025 sejumlah Rp1,625 triliun. Yang lebih mengejutkan, ternyata kerugian itu sudah terjadi pada tahun sebelumnya (2024), yaitu hingga Rp4,195 triliun.
Lalu, muncullah polemik di tengah para pemangku kepentingan (stakeholders) tidak terkecuali para politisi atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang berkantor di Senayan. Sebab, dampak dari kerugian besar atau tekor jumbo pengelolaan kereta cepat yang diberi nama Whoosh ini, harus ditanggung renteng oleh empat (4) BUMN yang menjadi anggota konsorsiumnya. Para pihak konsorsium itu, adalah PT. KAI, PT Wijaya Karya Tbk (Persero/WIKA), PT Jasa Marga Tbk (Persero/JSMR), dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero/PTPN VIII).
Pertanyaan penting publik dan ini faktor kunci (key factor) kinerja manajemen sebelum adanya kerugian besar yang diderita oleh PT. KAI, adalah bagaimana sebenarnya rancangan dan pembiayaan proyek kereta cepat tersebut? Mengapa PT. KAI sebagai pimpinan konsorsium (leading consortium) dengan kepemilikan saham 58,53 persen di PT PSBI harus menanggung kerugian nyaris Rp1 triliun (tepatnya Rp951,48 miliar) pada enam bulan pertama? Tulisan ini semoga mencoba menguraikan secara urut, runut, utuh (komprehensif), wajar (fair) dan objektif atas ide awal perancangan proyeknya.
Memilih China Tanpa APBN
Transportasi berasal dari kata trans yang artinya terputus hubungan. Tetapi, menjadi terhubung ketika melekat kata portasi. Artinya, transportasi, adalah mengangkut/membawa. Dan, jasa transportasi merupakan alat vital bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa. Sebuah keniscayaan, kemajuan moda transportasi publik yang efektif dan efisien pada beberapa negara maju di benua Eropa dan USA cukup pesat. Hal ini tentu tidak lepas dari adanya lompatan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Lebih khusus, terjadi pada kemajuan transportasi pengangkut massal, yaitu kereta api yang berkecepatan tinggi atau kereta cepat.
Di benua Asia, Jepang dan China merupakan dua negara utama (pioneer) yang menguasai teknologi kereta cepat ini. Hanya saja, terdapat perbedaan kecepatan teknis antara pembangunan kereta cepat di Jepang dan China. Yaitu, dalam aspek operasional (kecepatan, keamanan dan kenyamanan) dan pembangunan jaringan relnya. Kereta cepat Jepang yang beroperasi sejak tahun 1964 jaringannya lebih pendek, yaitu 3.000 km dalam waktu 25 tahun. Sementara China yang memulainya tahun 2008 jaringan rutenya sangat luas mencapai 42.000 km hanya dalam waktu 5 tahun.
Indonesia, sejak era kolonialisme Belanda pembangunan jaringan kereta api nyaris tanpa perubahan dan kemajuan berarti. Meskipun, Bappenas dan LIPI berkali-kali berkolaborasi dengan Jepang melakukan penelitian kelayakan pembangunan infrastruktur perkeretaapian. Padahal, sebagai negara kepulauan dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 dunia Indonesia sangat membutuhkannya. Maka, muncullah gagasan adanya kereta cepat di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang mana pada 2012, Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), sudah menginisiasi proyeknya dengan studi yang komprehensif
Pembangunan kereta cepat belum terlaksana di era Presiden SBY, estafet pemerintahan pun beralih kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, keinginan untuk membangun kereta cepat muncul lagi dari Presiden Jokowi. Adalah, saat berkunjung ke China pada 9 November 2014 Presiden RI ini berkesempatan menjajal kereta cepat dari Beijing menuju Tianjin yang berjarak 120 km. Kereta cepat Beijing-Tianjin ini bernama China Railway High-speed (CRH). CRH ini mampu melesat dengan kecepatan 300 km per jam serta membuat Presiden Jokowi cukup kagum.
Artikel Terkait
394 Ribu Kendaraan Diblokir Tak Bisa Lagi Beli Pertalite dan Solar Subsidi, Coba Cek Apa Kamu Termasuk
Ibunda Helwa Bachmid Bongkar Fakta Pernikahan Siri Anaknya dengan Habib Bahar, Saya Terhipnotis
Breaking News: Gempa Terkini M 6,2 Guncang Bolaanguki Sulut
Soal Keracunan MBG, Prabowo: Sakit Perut Biasa, Saya Juga Sering Salah Makan