NARASIBARU.COM - Pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2025 yang menembus angka 5,12 persen kontras dengan peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal, stagnasi upah, dan minimnya penciptaan lapangan kerja layak menuai sorotan tajam DPR RI.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) terungkap, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen secara tahunan (year on year/yoy) dengan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku sebesar Rp5.947 triliun, dan atas dasar harga konstan Rp3.396,3 triliun.
Angka ini meningkat dibandingkan kuartal I 2025 yang tumbuh 4,87 persen yoy, maupun kuartal II 2024 yang tumbuh 5,05 persen yoy.
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menyoroti ketimpangan antara capaian pertumbuhan ekonomi nasional dengan realitas sosial ketenagakerjaan yang dihadapi masyarakat.
“Data tumbuh, tapi pekerja tumbang. Ini yang terjadi di lapangan. Kami menerima laporan PHK di sektor manufaktur, logistik, hingga digital. Pertanyaannya sederhana: pertumbuhan ini tumbuh untuk siapa?” ujar Nurhadi dalam keterangan tertulisnya, dikutip pada Selasa (12/8/2025).
Nurhadi mengatakah, narasi keberhasilan ekonomi yang disampaikan pemerintah seharusnya tidak hanya berhenti pada angka-angka makro.
“Ukuran pertumbuhan sejati tidak hanya diukur dari PDB, tetapi dari kemampuan keluarga pekerja memenuhi kebutuhan dasar seperti mencicil rumah, membeli bahan pokok, menyekolahkan anak, dan memiliki jaminan hari tua,” tegasnya.
Ia memandang kondisi saat ini mencerminkan krisis ketimpangan naratif, di mana pemerintah mengklaim keberhasilan ekonomi sementara banyak pekerja justru menghadapi ketidakpastian, kehilangan pekerjaan, dan lemahnya daya beli.
Nurhadi mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan dan BPS, untuk mengintegrasikan pelaporan data ekonomi dan ketenagakerjaan sehingga publik mendapatkan gambaran utuh mengenai arah dan dampak kebijakan ekonomi.
Ia juga meminta audit menyeluruh terhadap sektor padat karya yang terdampak gelombang PHK.
Selain itu, Nurhadi menekankan pentingnya percepatan program pelatihan vokasi dan peningkatan keterampilan (upskilling) bagi tenaga kerja, terutama di sektor-sektor yang terdampak transformasi digital dan automasi.
Lebih jauh ia mendorong perlu adanya penguatan pada Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) agar menjadi perlindungan nyata, bukan sekadar simbol kebijakan sosial.
“Jangan sampai pemerintah terlalu asyik dengan angka makro, tapi lupa bahwa yang paling penting adalah kualitas hidup rakyat. Rakyat tidak hidup dari statistik, mereka hidup dari upah, pekerjaan, dan rasa aman,” pungkas Nurhadi.
Sumber: Fajar
Artikel Terkait
Prabowo Hadapi Warisan Buruk Penerimaan Negara Bocor Rp782,68 Triliun per Tahun
VIRAL Negara Ambil Tanah Terlantar, Menteri ATR Nusron Wahid Kini Minta Maaf: Candaan Saya Tidak Tepat
KACAU! 28 Ribu Karyawan BUMN Kecipratan Bansos, DPR Meradang: Validasi Ulang!
Riset Celios Ungkap Orang Miskin Bayar Pajak Lebih Besar, Orang Kaya Simpan Aset di Luar Negeri