Mahfud MD Beber Alasan Jaksa Gandeng TNI bukan Polri untuk Pengamanan

- Sabtu, 09 Agustus 2025 | 06:05 WIB
Mahfud MD Beber Alasan Jaksa Gandeng TNI bukan Polri untuk Pengamanan


Ketegangan antara institusi penegak hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam setelah mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, angkat bicara.

Ia secara gamblang mengaitkan fenomena pengerahan personel TNI untuk mengamankan Kejaksaan Agung dengan adanya dugaan kasus-kasus besar yang tidak berjalan mulus, bahkan hilang, saat berada di tangan Kepolisian.

Mahfud menyoroti langkah Kejaksaan Agung yang membuat nota kesepahaman (MoU) langsung dengan TNI untuk pengamanan para jaksa. Menurutnya, langkah ini mengejutkan dan secara terang-terangan melanggar prosedur hukum yang berlaku.

“Saya tidak tahu kalau sekarang. Ya kan ini dimulai dari peristiwa yang mengejutkan ketika TNI membuat MOU dengan Kejaksaan Agung bahwa keamanan keselamatan para jaksa dilindungi oleh TNI. itu kan melanggar undang-undang,” tegas Mahfud dikutip dari Youtube Forum Keadilan TV.

Ia menjelaskan bahwa menurut hierarki dan peraturan perundang-undangan, permintaan bantuan pengamanan dari TNI seharusnya datang melalui Polri, bukan secara langsung dari Kejaksaan.

Menurutnya di dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan Agung, kerja sama TNI dengan Kejaksaan Agung untuk pengamanan itu boleh dilakukan atas permintaan Polri.

"Ini Jaksa Agung langsung minta ke TNI ya kan. Kalau Polri merasa masih sanggup menjaga Kejaksaan Agung berarti harus Polri yang menjaga. Ini ada baik di Undang-Undang Kejaksaan Agung, Undang-Undang Polri, Undang-Undang TNI kan begitu caranya. Kalau yang jaga keamanan dan keselamatan orang tuh polisi, kenapa sekarang langsung TNI?” tanyanya retoris.

Skandal 'Pagar Laut' yang Lenyap Misterius

Menurut Mahfud ini terjadi karena ada perbedaan mendasar antara Kejaksaan dan Polri dalam menangani kasus-kasus hukum yang besar.

Mahfud MD menunjuk pada sebuah kasus kakap yang menjadi contoh nyata friksi antara kedua lembaga: Skandal Pagar Laut.

Menurut Mahfud, kasus ini menjadi bukti bagaimana perbedaan cara pandang antara Kejaksaan dan Polri bisa membuat sebuah perkara besar menguap begitu saja.

Kejaksaan Agung meyakini kasus Pagar Laut adalah tindak pidana korupsi berskala masif, sementara Polri mengajukannya hanya sebagai kasus pidana ringan berupa pemalsuan dokumen.

“Kalau saya karena memang banyak hal-hal yang tidak jalan di Kejaksaan Agung sulit lewat Polri. Anda tahu kasus pagar laut. Jaksa Agung mengatakan bahwa pagar laut kasus korupsi. polisi mengajukan ke Kejaksaan Agung itu adalah kasus pemalsuan dokumen. Kasus pidana ringan,” ungkap Mahfud.

Ia merinci skala dugaan kejahatan tersebut yang dinilainya tidak mungkin hanya sekadar pemalsuan biasa.

“Kan tidak mungkin itu pemalsuan dokumen karena apa? Itu melibatkan lebih dari 300 sertifikat laut. Kalau satu mungkin ya bisa. Sertifikat laut di 16 desa yang mengaku memalsu dokumen itu satu kepala desa padahal 16 kepala desanya. Kan itu pasti korupsi karena melibatkan BPN ke atas lagi ke atas lagi,” ujar dia.

Kasus ini bahkan mendapat perhatian dari level tertinggi pemerintahan.

“Nama-nama perusahaannya disebut, orangnya disebut oleh LSM. Dan Presiden turun tangan selesaikan itu. Pak Nusron Wahid, Menteri ATR BPN bilang, "Saya diperintahkan oleh Pak Prabowo harus mengungkap ini selengkap-lengkapnya. Ditemukanlah ratusan sertifikat,”” lanjutnya.

Namun, proses hukumnya menemui jalan buntu. Terjadi "ping-pong" berkas perkara antara kedua institusi. Polisi bersikukuh ini pemalsuan dokumen, sementara Kejaksaan Agung mengembalikannya dengan keyakinan bahwa ini adalah korupsi.

“Tapi ketika diproses ini oleh polisi diproses pemalsuan dokumen. Tapi sama polisinya dianggap ini cuma masalah pemalsuan dokumen. Ketika disampaikan P19-nya ke Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung bilang ini bukan pemalsuan dokumen ini korupsi. Dikembalikan lagi. Polisi kembalikan lagi tetap pemalsuan dokumen sampai masanya habis sekarang hilang kasusnya. Nah, itu sekarang kasusnya hilang. Anda bayangkan itu pagar laut yang begitu besar gegap gempita sekarang hilang,” paparnya dengan nada prihatin.

Stalemate dalam kasus Pagar Laut inilah yang menurut analisis Mahfud menjadi pemicu munculnya isu bahwa Polri menjadi "hambatan".

Isu ini kemudian membenarkan langkah Kejaksaan untuk menggandeng TNI demi rasa aman dan kelancaran penanganan perkara.

“Itulah sebabnya kemudian timbul isu ini hambatannya di polisi, isunya ya isunya. Sehingga lalu timbul kalau gitu kejaksaan itu kerja sama dengan TNI aja. Melanggar hukum itu jelas,” tegasnya.

Pernyataan ini seolah memberikan konteks pada peristiwa terkini yang menghebohkan publik, yaitu pengawalan ketat rumah Jampidsus (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus) oleh belasan personel TNI lengkap dengan kendaraan taktis Anoa.

Mahfud pun mengaitkannya, seraya melemparkan pertanyaan besar mengenai kasus apa yang sedang ditangani hingga memerlukan pengamanan militer sedemikian rupa.

“Nah, saya tidak tahu yang sekarang ada di rumah Jampidsus di mana rumahnya dikawal oleh 10 TNI dengan Anoa itu. Ini kasus apa gitu ya? Kita kita lihat aja perkembangannya,” ucapnya.

Sumber: suara
Foto: Mahfud MD beber penyebab Kejaksaan Agung libatkan TNI sebagai pengamanan bukan Polri. [Youtube Forum Keadilan TV]

Komentar