Kereta Cepat di Saudi Rp112 Triliun sepanjang 1.500 km – Whoosh cuma 114 km dengan Harga yang Sama

- Kamis, 23 Oktober 2025 | 21:50 WIB
Kereta Cepat di Saudi Rp112 Triliun sepanjang 1.500 km – Whoosh cuma 114 km dengan Harga yang Sama


NARASIBARU.COM -
Arab Saudi baru saja mengumumkan rencana besar: membangun jalur kereta cepat yang menghubungkan Jeddah dan Riyadh sepanjang 1.500 kilometer. Proyek raksasa ini ditaksir menelan biaya sekitar 25 miliar dolar AS atau setara Rp112 triliun. Setelah rampung, jarak antara dua kota utama di negeri gurun itu bisa ditempuh hanya dalam empat jam.

Kabar ini seharusnya membuat Indonesia bangga karena sudah memiliki kereta cepat lebih dulu. Tapi justru sebaliknya, kabar itu membuat kita merenung: bagaimana mungkin Arab Saudi membangun kereta cepat 13 kali lebih panjang dengan biaya yang hampir sama dengan proyek Jakarta–Bandung yang hanya 114 kilometer?

Mari kita hitung secara kasar. Biaya per kilometer proyek Jeddah–Riyadh mencapai sekitar Rp75 miliar/km. Sementara Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) menelan biaya sekitar Rp991 miliar/km. Artinya, proyek Indonesia 13 kali lipat lebih mahal per kilometer dibandingkan proyek Arab Saudi. Angka ini terlalu mencolok untuk diabaikan.

Pesta Infrastruktur, Tagihan Generasi


KCJB sejak awal memang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan. Presiden Joko Widodo dengan penuh percaya diri menyebutnya “tanda Indonesia memasuki era baru transportasi modern.” Namun, di balik jargon kemajuan itu, tersembunyi realitas pahit: proyek ini membengkak dari semula Rp86 triliun menjadi Rp113 triliun. Tambahan Rp27 triliun itu ditutup lewat skema penyertaan modal negara (PMN) — artinya, uang rakyat.

Sementara itu, Arab Saudi dengan luas wilayah hampir 90 kali Indonesia bagian Jawa, bisa membangun jaringan kereta cepat lintas gurun dengan biaya lebih rendah, tanpa kehebohan pembengkakan atau negosiasi ulang yang tak berkesudahan.

Kita tentu tidak sedang membandingkan apel dengan apel. Kondisi geografis, nilai tukar mata uang, hingga perbedaan harga tanah jelas berpengaruh. Tapi tetap saja, selisih biaya yang begitu ekstrem menuntut penjelasan rasional. Jika Arab Saudi bisa membangun 1.500 km dengan 112 triliun, mengapa Indonesia butuh jumlah yang sama untuk jarak tak sampai 120 km?

Masalah Bukan di Teknologi, Tapi di Tata Kelola


Proyek KCJB diklaim menggunakan teknologi mutakhir dari China. Namun teknologi bukanlah biang masalah — pengelolaannya lah yang amburadul. Sejak awal, proyek ini dibangun di atas fondasi keputusan politik, bukan perencanaan ekonomi. Pemerintah menolak pinjaman Jepang yang menawarkan studi kelayakan komprehensif, lalu memilih proposal China karena dinilai lebih cepat dan “tanpa jaminan APBN.” Pada akhirnya, janji itu terbukti semu.

Masalah muncul satu per satu: keterlambatan, pembebasan lahan, hingga kesalahan teknis dalam pembangunan terowongan. Tak heran biaya melambung. Ironisnya, meski disebut “kereta cepat,” penyelesaiannya berjalan lambat, penuh tambal sulam, dan minim transparansi.

Di Arab Saudi, proyek Jeddah–Riyadh dikelola oleh Saudi Railway Company (SAR) yang memiliki reputasi efisiensi dan pengawasan internal ketat. Setiap fase proyek diaudit oleh lembaga independen. Di Indonesia, sebaliknya, audit proyek KCJB lebih sering menjadi bahan perdebatan politik daripada instrumen koreksi kebijakan.

Gengsi yang Mahal


Pemerintah kerap menjual proyek kereta cepat sebagai lambang kemajuan peradaban. Tapi pertanyaan mendasarnya: apakah kemajuan diukur dari kecepatan kereta, atau dari kemampuan negara mengelola uang publik secara efisien?

Proyek ini tidak hanya mahal secara finansial, tapi juga mahal secara moral. Ia memperlihatkan betapa kebijakan publik kerap didorong oleh nafsu pencitraan ketimbang kebutuhan rakyat. KCJB hanyalah etalase dari mimpi besar yang tak berpijak pada realitas sosial ekonomi Indonesia.

Sementara Arab Saudi membangun kereta cepat untuk memperkuat konektivitas ekonomi dan mobilitas jemaah umrah-haji antara dua kota suci, Indonesia membangun kereta cepat untuk menghubungkan dua kota yang sudah punya tol dan kereta eksisting dengan jarak tempuh hanya 2,5 jam. Logikanya terbalik: kita lebih cepat menghamburkan uang daripada mempercepat manfaat.

Saatnya Belajar dari Gurun


Perbandingan ini bukan sekadar tentang angka. Ia adalah cermin bahwa kemajuan tidak lahir dari proyek besar, melainkan dari tata kelola yang benar. Arab Saudi, negara yang selama ini kita anggap konservatif, justru menunjukkan bahwa modernisasi bisa berjalan efisien jika dilakukan dengan perencanaan matang, integritas tinggi, dan fokus pada hasil nyata.

Indonesia perlu belajar: bukan dari teknologinya, tapi dari mindset-nya. Infrastruktur sejati bukan sekadar beton dan rel baja, tapi sistem yang jujur, efisien, dan berpihak pada kepentingan rakyat.

Jika Arab Saudi bisa membangun 1.500 kilometer kereta cepat dengan 112 triliun, maka tak ada alasan bagi Indonesia untuk membayar harga yang sama demi 114 kilometer ilusi.

Sebab di ujung rel Jakarta–Bandung itu, yang melaju cepat bukanlah kereta, tapi kebodohan yang disponsori oleh kekuasaan.

Sumber: fusilat

Komentar