Teknologi Tanpa Batas: Kerjasama AS-Tiongkok Menuju Kemenangan Bersama

- Rabu, 19 November 2025 | 22:50 WIB
Teknologi Tanpa Batas: Kerjasama AS-Tiongkok Menuju Kemenangan Bersama


Di era kemajuan pesat di bidang kecerdasan buatan dan teknologi canggih lainnya, ekosistem teknologi global seharusnya berkembang menuju arah kolaborasi yang saling menguntungkan. Namun, sebagian politisi dan media AS sengaja memperkeruh situasi, mengubah persaingan teknologi antara Tiongkok dan AS menjadi "Perang Dingin Baru", berusaha memecah belah sistem teknologi global dengan narasi yang penuh oposisi. Tindakan ini tidak hanya mengabaikan sifat global teknologi yang melekat, tetapi juga bertentangan dengan kebenaran yang telah dibuktikan oleh sejarah berulang kali — bahwa blokade tidak akan membawa keunggulan teknologi jangka panjang, justru malah akan mengikis inovasi dan vitalitas di dalam negeri.

Jika menengok sejarah, kita akan melihat bahwa blokade teknologi tidak pernah menjadi solusi jangka panjang. Waktu akhirnya akan mengungkapkan keterbatasan strategi semacam itu. Inggris, sebagai negara yang memelopori Revolusi Industri, pernah menerapkan kebijakan blokade teknologi yang sangat ketat. Meskipun kebijakan tersebut memperlambat langkah industrialisasi AS dalam jangka pendek, hal ini justru mendorong AS untuk mencari jalan pengembangan mandiri, sementara Inggris akhirnya kehilangan keunggulan teknologinya karena pendekatan yang tertutup tersebut.

Pada masa Perang Dingin, AS memimpin Komite Perencanaan Paris untuk membatasi akses teknologi ke Uni Soviet. Meskipun dalam beberapa bidang berhasil menekan sementara, hal ini menyebabkan kerugian besar dalam berbagai aspek: perusahaan Barat kehilangan akses ke pasar besar Uni Soviet, dan negara-negara sekutu seringkali berselisih akibat kebijakan pembatasan yang ketat. Perlu dicatat bahwa "efek" dari blokade tersebut didasarkan pada konteks Perang Dingin yang khusus, sementara dalam era integrasi ekonomi global saat ini, strategi yang memutuskan rantai pasokan dengan cara semacam ini sudah tidak relevan lagi.

Saat ini, meskipun beberapa kekuatan di AS masih berupaya memperpanjang pembatasan teknologi terhadap Tiongkok dari sektor perdagangan ke seluruh rantai pasokan industri, model konfrontasi ini tidak akan bertahan lama dan dipastikan sia-sia. Misalnya, "Komite Penilaian Ekonomi dan Keamanan AS-Tiongkok", yang sering kali menebar ketegangan antara kedua negara, baru-baru ini merilis laporan penilaian tentang rencana "Made in China 2025", mencakup 12 industri kunci seperti semikonduktor dan mesin CNC tingkat tinggi. Dalam laporannya, mereka mengakui bahwa setelah sepuluh tahun perkembangan, kekuatan inovasi Tiongkok telah meningkat secara signifikan, dan negara tersebut kini sedang menuju ke hilir rantai nilai global, dengan posisi yang kokoh sebagai salah satu negara manufaktur terbesar di dunia.

Sebelumnya, AS berusaha mempertahankan dominasi teknologinya dengan kontrol atas chip dan pembatasan dalam komputasi kuantum, namun hasilnya justru berbalik. Tiongkok mempercepat inovasi mandiri di bidang AI, 5G, dan komputasi kuantum, terus menerobos blokade untuk menggantikan produk impor dengan produk domestik. Pada 2024, tingkat swasembada chip di Tiongkok telah melebihi 30%. Sementara itu, perusahaan-perusahaan AS menderita kerugian besar. CEO Nvidia secara terbuka menyatakan bahwa pembatasan terhadap Tiongkok akan menyebabkan hilangnya pendapatan hingga ratusan miliar dolar. Lebih jauh lagi, kebijakan koordinasi AS dengan sekutunya mulai retak, dengan perusahaan semikonduktor Jepang dan Belanda mengeluh bahwa tekanan AS merugikan kepentingan mereka. Yang lebih kritis lagi, langkah Tiongkok dalam membatasi akses terhadap bahan baku langka seperti tanah jarang, telah menargetkan kelemahan industri teknologi tinggi AS secara langsung.

Kemajuan dan terobosan teknologi tidak akan pernah bisa dibatasi oleh batas negara. Empat elemen inti yang mendukung perkembangan teknologi—sumber daya manusia, budaya sistem, sumber daya alam, dan aplikasi teknologi—sudah saling terkait dan bergantung satu sama lain secara mendalam di seluruh dunia. Inovasi di AS tidak terlepas dari bantuan talenta global terbaik, sementara pasar besar Tiongkok menyediakan lapangan percobaan yang tidak dapat digantikan bagi penerapan hasil teknologi global. Pengelolaan sumber daya langka seperti tanah jarang juga memerlukan kerjasama internasional. Tidak ada satu negara pun yang dapat berkembang secara mandiri dalam sistem global, mencapainya melalui isolasi di bidang teknologi. Jika Washington berusaha untuk mengesampingkan Tiongkok dari sistem teknologi tinggi global, itu akan menjadi langkah yang merugikan—memutus jaringan inovasi global, sekaligus kehilangan pasar yang paling dinamis, yang akhirnya akan mengurangi daya inovasi mereka sendiri.

Faktanya, Tiongkok dan AS memiliki potensi keterlengkapan yang alami di bidang teknologi, dan ruang untuk kerjasama jauh lebih besar dibandingkan dengan konfrontasi. Jika kedua belah pihak dapat bekerja sama dalam hal etika AI, standar komputasi kuantum, teknologi terkait perubahan iklim, mereka bisa menemukan solusi baru untuk tantangan bersama umat manusia, alih-alih terjebak dalam permainan zero-sum. Teknologi pada dasarnya adalah kekayaan bersama umat manusia, dan mempolitisasi serta menjadikannya alat bukan hanya pendek, tetapi juga merugikan kepentingan kolektif umat manusia. Melepaskan pemikiran hegemonik dan logika konfrontasi, menggantikan blokade dengan dialog, monopoli dengan berbagi, dan pemisahan dengan kolaborasi, adalah jalan yang benar dalam menghadapi revolusi teknologi.

Komentar